PerDIK: Keliru Kasus Pemerkosaan Difabel di Gowa Dihentikan
Makassar,GoSulsel.com – Peristiwa pemerkosaan yang dilakukan KN (52) kepada AN (30) di tempat pembuatan bata di Dusun Boronguntia, Desa Maccinibaji, Kecamatan Bajeng,Gowa,Selasa (9/5/2017) siang diselesaikan secara kekeluargaan.
Pelaku yang kesehariannya penjual ikan keliling bersedia menikahi korban yang merupakan difabel Tuli. Meski sebenarnya kasus ini sudah ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resort (Polres) Gowa.
Namun lembaga Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) menyayangkan pernikahan tersebut karena masalah pemerkosaan ini tidak mengatasi masalah kerentanan perempuan atau lelaki difabel dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Direktur PerDIK, Abdul Rahman mengatakan sekarang ini masih banyak orang keliru soal difabel termasuk Aparat Penegak Hukum (APH), ditambah penangan kasus yang melibatkan difabel.
“Dalam kondisi pemahaman banyak orang yang keliru soal difabel, perkosaan, kerentanan dan kondisi lemahnya penegakan hukum yang APH-nya juga tidak paham isu disabilitas maka cara-cara penyelesaian model “damai”, “penghentian penyidikan”, “suap”, dll akan terus terjadi.” kata Direktur PerDIK, Abdul Rahman dalam keterangan persnya, Kamis (18/5/2017).
Selain itu, kata Rahman, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Gowa juga sepertinya tidak reaktif terhadap kasus itu. Padahal mereka berkewajiban untuk memberikan perlindungan dengan menyiapkan “rumah aman”.
“Dari beberapa kasus di gowa, di unit anak di Pemerintahan Gowa tidak berjalan dan tidak adanya ‘rumah aman’ yang bisa menampung korban dan saksi seksual. itulah yang terjadi kemarin. Orangtua (korban) mengambil sikap dinikahkan karena sudah capek mondar mandir di Polres Gowa dan malu dengan kasus itu. ”
Sementara Manajer Advokasi dan Hukum PerDIK, Fauziah Erwin mengatakan kehadiran PerDIK di Polres Gowa untuk mengawal kasus itu berangkat dari rasa keprihatinan dengan semakin maraknya kekerasan yang menimpa anak dan perempuan difabel di Sulsel, yang tidak cepat proses penanganan hukumnya.
“Kita PerDIK hadir untuk memberi bantuan kepada korban, ” ujarnya.
Menurutnya, korban kasus perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya, umumnya berasal dari keluarga miskin dengan tingkat pendidikan rendah. “Apalagi di Gowa, literasi tidak menjangkau desa dan dusun.” ujarnya.
Secara kelembagaan, kata dia, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PTP2A) Dinas PPPA Gowa berkewajiban untuk melindungi korban. Menurutnya lembaga ini lah yang seharusnya sigap membangun strategi perlindungan sesuai kebutuhan dan kondisi kultural disana.
“Lembaga dengan anggaran cukup besar ini juga diamanahkan untuk menyiapkan “rumah aman”, pemulihan fisik dan psikis anak dan perempuan korban kekerasan. Memberi edukasi, mitigasi, koordinasi antar lembaga demi pencegahan kekerasan. Ini yang belum jalan di kabupaten Gowa.” ujarnya.
Rahman juga berharap kepada jurnalis media di Makassar dan Gowa untuk tidak terlalu mem blow-up kasus-kasus seperti itu, karena sangat mempengaruhi pskilogis keluarga dan korban. “Media mengejar hingga ke kediaman korban hingga malu. ” ujarnya.
Dia juga mengungkapkan kebanggannya kepada unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Polres Gowa yang turut melibatkan lembaganya dalam penanganan kasus ini.
“PerDIK dan Polres Gowa akan melakukan kerjasama untuk mengantisipasi kejadian serupa nantinya.(*)