#

Inkonsistensi NA Jadi Perbincangan? Ini Buktinya

Senin, 09 Oktober 2017 | 19:33 Wita - Editor: Baharuddin -

Makassar,GoSulsel.com – Nurdin Abdullah (NA) boleh saja bakal melenggang mulus sebagai kontestan di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel 2018 mendatang. Tapi keputusannya meninggalkan Sang Jenderal Tanribali Lamo (TBL), dan memilih wakil yang justru tak punya pengalaman pemerintahan, justru bisa menjadi “boomerang”.

Publik terlanjur memegang perkataan NA jika ia tak akan mungkin meninggalkan TBL. Lebih baik kembali ke kampus dan mengurus cucu jika tak maju berpasangan dengan TBL, adalah sepenggal kalimat yang disebut-sebut pernah keluar dari mulut “The Professor”.

pt-vale-indonesia

NA yang menggunakan salah satu tagline “jujur dan cerdas” boleh bersilat lidah mengenai keputusannya mengambil Andi Sudirman Sulaiman (ASS), atas alasan keinginan partai politik. Tapi, caranya melukai orang yang berjuang bersama ini, diyakini akan terus membekas.

Belum lagi, manuver politik yang ditunjukkan dalam merebut parpol, terkesan sangat memaksakan. Demi hasrat politiknya, tatanan budaya dan adat istiadat dipegang leluhur Sulsel, seolah tak berlaku bagi Bupati Bantaeng ini. Pasalnya, parpol yang mendukung kandidat lain pun, tak luput dari sasarannya.

Sangat wajar jika NA yang dikenal jago dalam urusan pencitraan, mulai mendapat julukan baru, yakni “Mr Inkonsisten”. Mengingat, perkataan dan perbuatannya oleh publik dinilai sangat bertolak belakang. Demi ambisi, sikap sipakatau, sipakainge, sipakalebbi,  seakan sudah menjauh darinya.

Tak heran, inkonsistensi NA kini menjadi perbincangan hangat. Mulai dari grup whatsapp yang berisi lintas profesi, grup facebook, hingga menjadi topik perdebatan di sejumlah tempat umum, seperti di warung kopi (warkop) selama beberapa hari terakhir.

Tak sedikit yang menyebut, NA sudah menghianati Sang Jenderal, sekaligus memposting ulang kembali pernyataan NA yang sudah tukaran cincin dengan TBL jauh sebelum mengakui telah berpasangan dengan ASS atas alasan keinginan parpol dan berpotensi mendongkrak keterpilihannya.

Bukan hanya itu, relawan dan simpatisan yang sejak awal pasang badan dibarisan NA-TBL, satu per satu mulai angkat kaki. Alasannya sama, belum jadi gubernur, tapi sudah cepat melupakan perjuangan dan mengingkari komitmen. Bahkan, sikap mengalihkan dukungan ke kandidat lain, disampaikan di grup Nurdin Abdullah Community (NAC) di facebook.

Inkonsistensi Nurdin Abdullah, ikut dicermati kalangan akademisi. Salah satunya pengamat politik asal Unhas, Dr Aswar Hasan. Menurutnya, meski sikap itu tetap melalui pertimbangan bagi NA, tapi idealismenya seakan tergadaikan.

“Kesimpulannya adalah Nurdin Abdullah mengedepankan pragmatisme, mengabaikan idealisme,” katanya saat diminta tanggapannya oleh wartawan, Senin (9/10/2017).

Jika ada pihak yang akan mencibir inkonsistensi itu, menurut Aswar, adalah hal yang wajar. Apalagi, Nurdin Abdullah ke arena Pilgub Sulsel dengan membawa tagline The Profesor. Sosok yang seharusnya mengedepankan idealisme, ketimbang pragmatisme. “Apalagi paket Nurdin Abdullah-Tanribali ini sudah sejak lama diperkenalkan,” tambahnya.

Bagaimana dengan potensi resistensi dari Tanribali yang didepak Nurdin? Menurut Aswar, ini juga akan menjadi pekerjaan Nurdin Abdullah untuk memperlihatkan kepada publik, bahwa Tanribali legawa.

“Jadi, satu-satunya yang bisa menyelamatkan Nurdin Abdullah dari cibiran inkonsistensi itu adalah Tanribali. Nurdin Abdullah butuh Tanribali untuk menjelaskan ke publik, bahwa keputusan mengganti wakil adalah keputusan bersama,” pungkas Aswar.

Sebelumnya, Pengamat Politik Universitas Muhammadiah Makassar, Andi Luhur Priyanto menilai keputusan NA mendepak TBL sebagai pasangan di Pilgub Sulsel akan menjadi sorotan publik. Konsistensi menjadi hal yang paling utama.

Baginya, “perpisahan” pasangan ini mencerminkan kegagalan kandidat eksternal menaklukkan idealisme dan pragmatisme partai politik. Kontribusi elektoral TBL, kata dia, juga tidak terukur dan cenderung pasif dalam proses mencari partai pengusung.

“Saya kira NA-TBL menawarkan metode untuk mengurangi potensi disharmoni kepala daerah dan wakilnya, dengan membangun chemistry di awal. Bukan ‘kawin paksa’ dari partai politik pengusung,” kata Luhur, belum lama ini. (*)


BACA JUGA