Marwan Mas: Perangi Korupsi, Sulsel Butuh Pemimpin Komitmen
Makassar,GoSulsel.com – Korupsi selalu menjadi momok di institusi pemerintahan saat ini. Pasalnya, hingga Desember 2017, tercatat sudah ada 377 kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) terjerat kasus korupsi yang diproses oleh pihak kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Untuk itu, setiap tanggal 9 Desember yang bertepatan hari antikorupsi sedunia, selalu diwarnai aksi demonstrasi sebagai bentuk perlawanan terhadap kejahatan korupsi tersebut.
Pakar Hukum dari Universitas Bososwa (Unibos) Prof Marwan Mas mengatakan, menyikapi hari Anti Korupsi tahun 2017 ini, maka yang penting disikapi adalah prilaku korupsi dalam alinea kedua UU No. 40/2002 ttg KPK (UU KPK) adalah kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime), sehingga harus ditangani dengan cara luar biasa pula.
Dia mengatakan, untuk menekan angka kejahatan korupsi yang saat ini terus meningkat, maka harus ditentukan dari pemimpinannya. Hal ini bukan tanpa alasan, lantaran mayoritas yang terjebak dalam kejahatan korupsi adalah mereka yang memiliki posisi strategis di institusi pemerintahan.
“Kita butuh pemimpin yang punya sikap komitmen, dan keberpihakan penuh pada pemberantasan korupsi. Bukan hanya sekadar janji politik karena itu hanya untuk meraih suara rakyat,” tegas Marwan Mas kepada wartawan, Minggu (10/12/2017).
Pemberantasan korupsi itu, lanjut dia, mencakup pencegahan dan penindakan, sehingga kepala daerah diharapkan berfungsi pada upaya pencegahan yang dimulai dari diri sendiri dan keluarga.
Tidak hanya itu, memerangi korupsi juga harus dilanjutkan dengan melakukan pencegahan pada bawahannya. “Struktur pemerintahan kita wataknya adalah jika pimpinannya jujur, tegas, dan tidak bermental korup, maka bawahannya juga akan mengikuti. Sehingga salah satu yg terpenting bagi kepala daerah adalah keteladanan untuk tidak korup,” tuturnya.
Dijelaskan lebih jauh bahwa, filosofi terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pemaknaan kejahatan luar biasa yang harus ditindaki dengan cara luar biasa pula.
Dia pun mengatakan, faktor utama terjadinya korupsi, karena biaya demokrasi saat hendak menjadi pemimpin yang mahal.
“Ini salah satu filosofi pembentukan KPK yang diberi 9 kewenangan pamungkas dalam Pasal 12 UU KPK. Dengan demikian ada tiga institusi pemberabtas korupsi, tetapi realitas berkata lain. Korupsi terus saja terjadi sampai ke desa. Tentu ada yg tidak efektif dalam pebanganan korupsi yang terus menggurita. Salah satu pemicunya, karena biaya politik untuk meraih jabatan publik terlalu mahal,” jelasnya.
Sementara pejabat publik (penyelengara negara), lanjutnya, itulah yang dipilih rakyat dengan mengeluarkan biaya yang sangat besar yang membuat kebijakan.
“Akibatnya, tentu bisa ditebak, setelah terpilih akan mengembalikan uang besar yang dikeluarkan itu, atau memberi proyek yang dibiaya APBN-APBD kepada oknum pengusaha hitam dengan cara yang bertentangan dengan prosedur dalam pengadaan barang/jasa, sebagai balas budi. Jika hal ini tdk dijinakkan dengan baik, saya pessimis korupsi di negeri ini akan semakin sulit dihentikan, atau setidaknya dikurangi intensitasnya,” imbuhnya.
Lebih jauh dia membeberkan, sampai awal Desember 2017 ini, dalam catatan Prof Marwan, sudah ada 377 kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) sejak Pilkada langsung mulai Juni 2005 sampai sekarang yang terjerat kasus korupsi yang diproses oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
“Mereka yang diperiksa di Pengadilan Tipikor mengaku korupsi dilakukan karena mengembalikan uang besar yang dipakai dalam pilkada,” tandasnya. (*)