Calon Tunggal Melawan Kotak Kosong dalam Pilkada

Senin, 12 Maret 2018 | 13:00 Wita - Editor: Irwan AR -

Oleh: Maemanah
(Akademisi di Universitas Sawerigading Makassar)

Konsep mengenai demokrasi akan selalu berkembang sesuai dengan kesadaran masyarakat dan kebutuhan negara. Yang terjadi di Indonesia khususnya pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak sejak tahun 2015 dengan menghadirkan calon tunggal adalah sebagian kalangan menganggap sebagai salah satu terobosan hukum dimana negara tetap berusaha menjaga kedaulatan rakyat, namun ternyata tetap menjadi polemik hingga saat ini.

pt-vale-indonesia

Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018, diikuti 171 daerah yang terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. KPU mencatat ada 14 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon tunggal berdasarkan hasil rekapitulasi data pasangan calon pada tahapan penetapan peserta pemilihan tahun 2018 per (20/2/2018), antara lain yaitu kabupaten Padang Lawas Utara, kota Prabumulih, kabupaten Pasuruan, kabupaten Lebak, kabupaten Tangerang, kota Tangerang, kabupaten Tapin, kabupaten Minahasa Tenggara, kabupaten Enrekang, kabupaten Mamasa, kabupaten Jayawijaya, kabupaten Puncak, kabupaten Deli Serdang, dan kabupaten Mamberamo Tengah.

Fenomena calon tunggal diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dalam Pasal 54C ayat (1) memberi ruang keberadaan calon tunggal dengan beberapa syarat, antara lain bahwa pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi: setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat; terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; atau terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

Undang-undang Pilkada juga mengatur pilihan lain untuk masyarakat selaku pemegang hak suara dalam menentukan hasil akhir Pilkada, sebagaimana Pasal 107 ayat (3) dan Pasal 109 ayat (3) menyebutkan, dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon bupati-wakil bupati, satu pasangan calon walikota-wakil walikota, dan satu pasangan calon gubernur-wakil gubernur, kemenangan ditentukan pada perolehan suara lebih dari 50%. Sehingga apabila perolehan suara kurang dari 50% dari suara yang sah, maka kemenangan diraih oleh kotak kosong.

Ketika calon tunggal menang, kepala daerah yang terpilih belum tentu yang terbaik karena tidak melewati kompetisi. Sebagaimana ditulis oleh Robert A. Dahl dalam buku yang berjudul On Democracy, secara teoritis kriteria demokrasi mensyaratkan adanya kompetisi dan partisipasi, namun keadaan-keadaan empirik tidak dapat dibatasi perubahan dan perkembangannya. Demokrasi yang berkualitas harus disertai proses check and balance, sehingga kekuasaan dapat terdistribusi secara adil untuk menghindari tirani kekuasaan.

Dalam artikel berjudul “Calon Tunggal dan Defisit Demokrasi”, Lili Romli menulis keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu Petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, tetap berkuasa, dengan cara menjegal saingan lewat “borong partai”. Sementara itu, partai-partai berkepentingan untuk menang dan/atau mendompleng Petahana. Senada dengan hal tersebut, Iza Rumesten R.S. dalam artikel “Fenomena Calon Tunggal Dalam Pesta Demokrasi” di Jurnal Konstitusi (Vol. 13, No.1, Maret 2016) berpendapat, calon tunggal ini lahir karena mahalnya mahar dari partai pengusung. Maka secara rasional, jika ada calon Petahana yang kuat, calon lain pasti akan berkalkulasi rasional. Daripada hilang segalanya, lebih baik mengurungkan niat untuk jadi calon. Karena untuk menjadi calon saja mereka sudah harus membayar mahar. Belum lagi dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, KPU Pusat bahkan sampai di tingkat Mahkamah Konstitusi jika terjadi sengketa.

Sebab lain munculnya calon tunggal karena ketidakmampuan partai politik mencetak kader yang berkualitas, alih-alih melaksanakn pendidikan politik, justru partai politik condong pragmatis dengan memilih calon yang sudah populer. Syarat dukungan yang lumayan berat diatur dalam Undang-undang Pilkada dari jalur Parpol adalah 30% sedangkan syarat dukungan calon perseorangan sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi nomor 54/PUU-XIV/2016, minimal dukungan calon perseorangan yang maju dalam Pilgub berkisar antara 6,5% hingga 10% dari jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih.

Satu tahun terakhir, kampanye “kotak kosong” kian massif di beberapa daerah dengan calon tunggal diantaranya di kabupaten Pati, Jawa Tengah dan kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Aksi ini memberikan isyarat masih ada aspirasi rakyat yang tidak tersalurkan dengan mekanisme yang tersedia. Untuk itu harus disiapkan sistem yang memiliki legitimasi didukung dengan pendidikan politik yang baik agar dihasilakan pemimpin yang berkualitas dan dapat memenangkan hati rakyat, karena suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox Dei). (*)