#Pilwalkot Makassar
ARA: “Pilkada Makassar Ibarat Mobil Bodong Tak Miliki BPKB”
MAKASSAR, Gosulsel.com — Sikap KPU Makassar yang sama sekali mengabaikan putusan Panwaslu Makassar bakal berbuntut pidana. Selain itu putusan hasil pleno KPU Makassar juga jadi soal. Sebab pihak DIAmi belum menerima salinan pleno KPU Makassar maupun SK yang baru dikeluarkan.
‘’Kalau ada SK yang baru dikeluarkan KPU Makassar terkait penetapan paslon walikota dan wakil walikota Makassar, tunjukan pada kami. Sampai hari ini kami belum menerima salinannya,” tegas calon wali kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto kepada sejumlah media di kediamannya, Kamis (17/5/2018).
Sikap KPU Makassar yang bebal ini juga bakal berbuntut. Tim hukum paslon DIAmi, akan melaporkan para komisioner KPU Makassar ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI.
“Ini sudah kami kaji secara internal. Selain melaporkan ke DKPP RI, kami sepakat untuk mempidanakan komisioner KPU Makassar. Besok kami akan laporkan ke polisi dengan sangkaan melanggar pasal 180 ayat 2 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada,” tegas DR Anzar Makkuasa, salah satu tim hukum paslon DIAmi.
Pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi) akan melaporkan komisioner KPU Kota Makassar ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sanksi bagi KPU, menurut Anzar bisa kurungan. Ia berharap para komisioner KPU diberi umur panjang, begitu juga orang-orang yang mengintervensi KPU diberi umur panjang.
Menyikapi sikap KPU Makassar yang tidak melaksanakan putusan Panwaslu, Panglima Markas Perlawanan Rakyat (Menara) tim pemenangan DIAmi Adi Rasyid Ali menanggapinya santai. Ia bahkan hanya tersenyum.
‘’Bagus itu. Itu berarti tidak ada calon wali kota dan wakil wali kota di Makassar. Sebab kalau KPU mengacu pada SK 64 yang hanya mengakomodir satu paslon, itu tidak benar. Karena SK itu sudah tidak sah karena sudah dibatalkan oleh Panwas,” jelas ARA, sapaan Ketua DPC Partai Demokrat kota Makassar itu.
Menutut ARA, jika KPU memaksakan hanya satu calon dengan berdasarkan SK 64 maka Pilwali Makassar adalah Pilwali bodong karena acuan hukumnya tidak jelas.
‘’Termasuk juga anggaran yang digunakan oleh KPU adalah penggunaan anggaran yang bersifat bodong atau fiktif. Kalau itu mereka lakukan ini akan jadi temuan dan masuk kategori tindak pidana korupsi,” tegas ARA.(*)