Membedah Dorongan Psikologis Pengguna Jasa Prostitusi Artis
Ia mengibaratkan kasus ini dengan situasi seseorang rela membayar mahal untuk membeli gawai seri terbaru, atau untuk membeli tiket liburan ke tempat-tempat tertentu.
“Hal ini menjadi mungkin selama seseorang memiliki akses untuk membeli sesuatu, misalnya uang dan kesempatan, orang tersebut besar kemungkinan akan membelinya,” papar Anhar Dana.
Anhar Dana juga menguraikan bahwa prostitusi artis ini juga sebetulnya hadir karena adanya demand (permintaan) dari orang-orang yang menginginkannya sekaligus memiliki akses (uang dan kesempatan) untuk membelinya.
Saat ditanya seputar latar belakang perilaku, Anhar Dana menjelaskan bahwa bisa lahir dari berbagai alasan misalnya ingin memenuhi fantasi seksual berkencan dengan selebritis, atau sekadar merasakan sensasi berhubungan seksual dengan artis, yang nantinya bisa mereka ceritakan ke orang lain dengan penuh kebanggaan.
Anhar Dana menyarankan agar seharusnya ada yang meneliti lagi data-data terkait jumlah pengguna jasa prostitusi di Indonesia untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai fenomena ini.
“Karena bukannya diangap sudah biasa, tapi karena memang barangkali jumlah pelanggan jasa prostitusi memang banyak, sekalipun berkelindan dalam ruang belakang (atau secara rahasia),” ungkapnya.
Anhar Dana menutup perbincangan dengan pernyataan bahwa prostitusi tidak akan habis selama pelanggan-pelanggannya masih menginginkan dan meminta jasa ini, terlepas dari ketat atau tidaknya negara mengawasi praktik ini.
“Ada banyak pilihan kebijakan mengenai ini, misalnya melegalkan prostitusi seperti yang diberlakukan di Jerman, Spanyol, Belanda dan Amerika. Atau kebijakan lain misalnya melokalisasi prostitusi agar praktiknya menjadi lebih mudah diawasi. Atau kebijakan lain yang sesuai dengan etika sosial dan kearifan lokal yang berlaku di Indonesia bisa jadi pilihan,” tutup Anhar Dana.(*)