Politisi Berpotensi Dilanda Stres Akibat Transaksi Politik tanpa Kepastian
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Beribu informasi politik menyeruak setiap hari. Isu pun begitu cepat berganti setiap detiknya. Begitu banyaknya informasi yang diterima dengan beragam perspektif berbeda sangat mungkin terjadi. Sulitnya mendeteksi kebenaran dari bermacam informasi tersebut bisa menimbulkan kebingungan bagi penerima informasi.
Pertentangan pemikiran masyarakat sebagai objek sasaran informasi politik pun bergejolak. Terlebih di tahun politik tahun ini, masyarakat cenderung disuguhkan sensasi dan atraksi. Potensi masalah psikologis seperti stress siap menerjang kejiwaan masyarakat.
Namun Dr. Muh. Tamar, M.Psi. mengungkapkan hal yang berbeda. Menurut Dosen Psikologi Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut, potensi stress di kalangan masyarakat tidak terjadi hanya karena drama dalam politik yang terkesan seperti komedi.
“Kelihatannya masyarakat tidak stress karena disuguhi atraksi politik yang kurang cerdas sehingga terkesan seperti lelucon politik tapi itu fakta,” ungkap Tamar.
Kalangan yang disebutkan Tamar sebagai kubu potensial terserang stress justru adalah politisi yang sedang bertempur di ranah perpolitikan.
“Yang justru stress para politisinya karena tidak ada kualifikasi standar yang dimiliki dalam berperilaku. Jadi kualitas personal berdampak ke perilaku,” terangnya.
Hal ini disebabkan oleh standar ganda dalam berperilaku yang melanda para politisi dan cenderung bermuka dua. Antara politik yang benar-benar berdasar pada kepentingan umum atau untuk kepentingan kelompok/partai.
Bukti dari hal tersebut pun disebutkan Tamar nampak dari kualitas sosialisasi politik sebagai salah satu bentuk standar ganda tindakan politisi. Bentuknya dapat dilihat dari cara pembagian harta kepada masyarakat demi dapat simpati untuk dipilih.
“Masalahnya perilaku politik dominan saat ini masih kasar seperti bagi-bagi sembako, ampao, parcel, dan sebagainya karena berasumsi bahwa partisipasi politik bisa digerakkan dengan uang,” jelas Tamar.
Politisi yang kurang modal pun akhirnya tidak bisa bersosialisasi dengan asumsi tersebut.
Lebih lanjut, Tamar menyatakan bahwa fakta tersebut merupakan bagian titik lemah pembelajaran demokrasi dengan nilai standar ganda berupa tindakan ibarat “menyuap” masyarakat yang ada pada diri politisi.
Padahal, pada dasarnya, kepercayaan masyarakat hadir bukan karena adanya semacam transaksi materi tapi kepercayaan murni karena visi misi mensejahterakan. Inilah sisi penyebab stress para politisi yang dinyatakan Tamar.
“Inilah yang membuat stress para politisi, modalnya sudah jelas namun hasilnya belum pasti,” tandas Tamar.(*)