Skenario Politik di Balik Turunnya Harga BBM
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Mengawali tahun baru 2019, Indonesia sedikit dibuat sumringah dengan turunnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Per tanggal 5 Januari, PT Pertamina (Persero) menurunkan harga BBM non subsidi yakni Pertalite, Pertamax dan Pertamax Turbo, serta Dex dan Dexlite. Penurunan harganya berkisar antara Rp100 hingga Rp250 per liter.
Diketahui, harga BBM non subsidi di SPBU Pertamina mulai 5 Januari 2019 adalah sebagai berikut :
– Pertalite Rp7.650 per liter
– Pertamax Rp10.200 per liter
– Pertamax Turbo Rp12.000 per liter
– Dexlite Rp10.300 per liter
– Dex Rp11.750 per liter
Namun sebenarnya, harga minyak dunia justru berangsur segera mengalami kenaikan. Sedangkan pada dasarnya, mahalnya minyak dunia berbanding lurus dengan kenaikan harga BBM di Indonesia.
Akhirnya banyak yang menilai bahwa “ada udang di balik batu” dengan kebijakan penurunan BBM tahun ini, salah satunya menghubungkannya dengan Pemilu.
Turunnya harga BBM bersubsidi di tengah kenaikan harga minyak dunia membuktikan Indonesia bisa memberikan harga BBM murah kepada rakyat tanpa melihat kondisi minyak dunia yang mengalami kenaikan harga.
Kebijakan ini pun dirasa terlambat diimplementasi. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, seharusnya harga BBM non subsidi tersebut turun saat November atau Desember tahun lalu. Adapun saat ini patokan harga minyak mentah seperti Brent atau West Texas Intermediate (WTI) sudah mulai merangkak naik.
Dilansir Reuters, Sabtu (5/1), harga minyak mentah berjangka Brent LCOc1 naik USD 1,11 atau 1,98 persen menjadi USD 57,06 per barel. Sementara harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 87 sen menjadi USD 47,96 per barel atau 1,85 persen.
“Ini terlambat, seharusnya sudah dari November,” kata Faisal.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam keterangan resminya menuturkan, penurunan harga BBM non subsidi ini mengikuti penurunan rata-rata harga minyak dunia serta penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pendapat serupa juga datang dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Bahkan, ia mengatakan saat ini harga kebutuhan pokok di Indonesia masih belum stabil, karena masih lebih mahal dibandingkan dengan negara lainnya. Tak hanya itu, Fadli menilai turunnya harga Pertamax Cs dianggap kebijakan politis.
“Ya kalau sekarang apa yang tidak ada kaitannya dengan politik, termasuk penyaluran bansos (bantuan sosial). Bahkan pencapaian-pencapaiannya saja dikaitkan dengan politik untuk kepentingan elektabilitas,” kata Fadli kepada pers.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Bosowa (Unibos Makassar), Arif Wicaksono menilai kebijakan tersebut dari aspek teori, yakni mengacu pada kajian ekonomis dan political will.
“Menaikkan atau menurunkan harga bahan bakar minyak itu kewenangan pemerintah berdasarkan kajian keekonomisan, yang biasanya mengacu pada rentang harga minyak dunia. Atau, berdasarkan pada aspek politik, atau political will pemerintah dalam kasus tertentu, misalnya dalam keadaan darurat bencana,” urai Arif.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik (Fisipol) tersebut beranggapan bahwa memang ada modus politik di balik kebijakan turunnya harga BBM di Indonesia. Sebab, kebijakan turunnya harga BBM di awal tahun ini tidak terkategori normal berdasarkan teori yang ia paparkan sebelumnya.
“Problem utama dari penurunan harga BBM ialah terletak pada timing, momentumnya. Seperti yang kita tahu, Pilpres akan dilangsungkan beberapa bulan lagi, dan penurunan harga BBM oleh pemerintah, seperti sudah diskenariokan, mengingat salah satu capres adalah incumbent atau petahana,” ujar Arif kepada Gosulsel.com
Di satu sisi, harga BBM turun membuat masyarakat beranggapan bahwa pihak Pemerintah benar-benar baik kepada mereka. Namun Arif mengingatkan kepada masyarakat jangan sampai terjebak, sebab kebaikan di tahun politik kemungkinan besar ada nilai politis dibaliknya.
“Hal ini bisa membuat masyarakat berpikir bahwa pemerintah memang baik terhadap rakyat. Tapi jangan dilupakan, bahwa di sisi yang lain berkembang pemikiran bahwa pemerintah bersikap baik pada masyarakat karena ada maunya. Dikotomi wacana seperti itu bisa dipastikan akan semakin tajam, mengingat kompetisi capres yang head to head,” pungkas Arif.(*)