FOTO: Iqbal Nur

Getir Melawan Patah Hati yang Akut

Kamis, 19 Desember 2019 | 14:31 Wita - Editor: Muhammad Fardi -

MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Ditinggal pergi memang menyakitkan, walau waktu akan menghapus patah hati, tapi tak ada yang bisa mengira kapan pikiran akan tenang. Sepekan, sebulan, setahun atau sepanjang waktu kita masih bernafas?

Ditinggal pergi saat rasa memiliki sudah paripurna wajarlah patah hati, terlebih lagi jika sudah menyusun rapi perkara hidup yang kian jauh ke depan, lalu seketika sirnah dan hanya menyisahkan pesan terakhir.

Kisah ini pernah dialami oleh anak muda bernama Iqbal Nur (24 tahun), ditinggal pergi oleh kekasih saat keseriusannya sudah teguh dan sementara berjuang menuju membangun rumah tangga. Anak muda berpenampilan humble ini seketika jatuh, semangatnya untuk melanjutkan hidup yang telah dirangkai langsung usang.

Semakin berusaha melupakan, diwaktu yang sama dia tidak menyadari sementara mengumpulkam kepingan-kepingan kenangan; saat berjalan diantara rerintikan hujan, makan di bawah kerlap kerlip lampu hias sebuah resto, bernyayi bersama di ruang karoke dan berbagai kenangan indah yang dia curigai tak lekang oleh waktu.

Semakin kuat rasa ingin melupakan, semakin banyak pula energi semangat yang hilang. Perasaan itu terus berulang dari hari ke hari hingga beberapa pekan. Hingga pada akhirnya Iqbal, begitu ia akrab disapa, merasa ada yang hilang dari sebagian jati dirinya. Anak muda dengan sisir rambut belah samping itu menolak melawan takdir. Perlahan dia seperti diberi hidayah untuk mencoba memulai melupakan secara perlahan.

“Kuncinya adalah ikhlaskan, saat itu saya tidak lagi mau melawan perasaan, silahkan ada dalam pikiran, toh semakin mulut berucap ingin melupakan, hati dan pikiran malah kuat mengingat. Tidak ada cara lain kecuali mengikhlaskan,” kata anak muda kelahiran Bulukumba, 5 Oktober 1995 ini.

Selain ikhlas, merelakan kepergian memang adalah cara yang paling baik. Buat apa mempertahankan orang yang diperjuangkan dalam waktu yang cukup lama, namun tak ada nilai dimatanya. Dia pergi semaunya. Tapi bagi Iqbal, keresehaan seseorang tergantung dari kualitas sabar yang dia miliki. Semakin rendah kualitas sabarnya maka semakin resah pula dalam setiap menghadapi cobaan, begitu pula sebaliknya.

“Relakan yang sudah berusaha dipertahankan namun tak ada jalan, ia terpaksa harus pergi. Harus sabar, karena itulah tanda yang dikirimkan pemilik semesta, bahwa dia bukan milik kita. Sekuat apapun memaksakan sesuatu, kalau pemilik semesta tidak merestui semuanya hanya berjalan sia-sia,” kata dia.

Mulai sejak itu, Iqbal selalu melibatkan Tuhan, Allah SWT dalam setiap rencannya. Dia menduga, jika tidak melakukan hal itu hampir saja hidupnya suram. Begitu sangat perih ia rasakan beberapa pekan. Tak ada pekerjaan yang bisa berjalan sesuai rencana, hari-harinya terbawa dengan suasana malas gerak (Mager).

“Saya kembali menjalani hari-hari dengan cara saya sendiri. Rajin ketemu teman-teman, ketawa-ketawa bersama. Dan akhirnya semua berjalan seperti biasanya. Disitu saya paham, bahwa ikhlas dan sabar ternyata adalah cara paling baik merelakan kepergian hal yang sangat kita harapkan. Disitu saya benar-benar paham, tak ada yang abadi di muka bumi ini. Jika bukan kita yang pergi, maka dia yang pergi,” ujarnya.

Tapi Iqbal bisa seperti hari ini tidak serta merta. Ia pernah getir melawan patah hati yang akut. Menepi sendiri dan berbicara dalam hati. Kadang menyesali perkenalan, kadang pula optimis ada jalan menyelesaikan masalah. Tapi kehendak pemilik semesta tidak berpihak pada pengharapannya. Semua perjuangan sia-sia, dan kembali sirnah kepingan semangat yang tersisah.

Pada saat itulah ia mengaku tak kuasa menahan perih. Dia berupaya melawan perasaanya yang sudah mulai kehilangan kontrol, berupaya menjalankan fikiran yang rasional. Menurutnya, seperti ada perdebatan antara hati dan pikirannya. Suatu waktu Iqbal diam seketika, duduk marangkul lutut seorang diri. Menenangkan pikiran, meneguhkan dalam hati bahwa “sekuat apapun kita berikhtiar, jika pemilik Kun Fayakun tidak meridhoi maka disitulah kita diajarkan untuk bersabar dan ikhlas”

“Suatu ketika saya keluar malam hari. Malam yang larut. Saya berkeliling dari warkop ke warkop yang sering ditempati teman nongkrong. Tujuannya hanya satu, ingin berbicara bebas dengan alasan meninggalkan jejak pikiran, tapi ternyata tak ada memang riang gembira jika kita belum benar-benar ikhlas,” ungkapnya.

Kini senyum Iqbal sudah kembali menawan, seolah tak ada jejak perasaan yang membuat pikiran dan hatinya berat. Satu pesan dari seorang sahabat yang dia pegang teguh, bahwa untuk menutup lembaran lama, harus memulai lembaran baru.

“Sekalipun lembaran baru itu bukan lagi lembaran tempat mengukir kisah yang sama. Ada cita-cita besar pada lembaran baru yang coba saya rangkai, tak ada nama gadis di sana, yang ada hanya Iqbal dan masa depannya,” tuturnya puitis sambil tersenyum.

Saat penulis melihat ada senyum ikhlas yang melekuk diwajahnya, saya bertanya tentang perasaan yang dia alami saat masa lalu itu diungkit kembalin. Menurut Iqbal, tak ada kesan berarti terkecuali adalah jejak pengalaman.

“Itu adalah pengalaman berharga. Bahwa ujian ini tidak turun tanpa solusi dan sabar yang menyertainya, itu benar-benar adanya,” ungkapnya singkat.

Kini Iqbal tak ingin lagi terjebak pada hal-hal yang tidak bisa diatur oleh otoritas manusia. Dia sudah teguh menjalani hidup mengalir kemana saja muara yang indah.

“Ikhtiar tetap harus ada. Tapi berharap dan terlalu yakin bahwa rencana akan selalu indah itu tak lagi harus dilakukan. Ikhtiar harus dibarengi dengan doa, agar jika jatuh lagi, tepatnya di antara bintang-bintang,” tutupnya.(*)

Tags:

BACA JUGA