Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI)

HIPMI Kecam Permendag Tentang Pembebasan Impor Bawang Putih dan Bombay

Jumat, 20 Maret 2020 | 13:10 Wita - Editor: Andi Nita Purnama -

JAKARTA, GOSULSEL.COM — Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) sangat menyayangkan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yakni membuka luas impor bawang putih dan bawang bombay tanpa pembatasan kuota.

Tepat pada tanggal 18 Maret 2020, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2020 tentang perubahan atas Permendag Nomor 44 Tahun 2019 tentang ketentuan impor produk hortikultura, impor kedua komoditas hortikultura tersebut tanpa harus persetujuan impor baik itu Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) maupun Surat Persetujuan Impor (SPI).

“Permendag yang baru ditetapkan ini mutlak sangat mencederai tatanan hukum negara. Sebab hirarki peraturan perundang-undangan sesuai Tap MPR dan Undang-Undang No 12 tahun 2011, tidak boleh peraturan di bawahnya bertentangan dengan diatasnya. Terkait dengan impor bawang putih dan bombay harus memperoleh RIPH dan SPI tertuang dalam UU Nomor 13 tahun 2010 pasal 88 tentang hortikultura. Sementara sekarang dibebaskan tanpa RIPH hanya berupa surat atau maksimal Permendag,” demikian diungkapkan Kompartemen BPP HIPMI, Tri Febrianto di Jakarta, Jumat (20/3/2020).

Lebih lanjut Tri menjelaskan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan ini berdampak langsung pada membanjirnya bawang putih dan bombay impor di dalam negeri sehingga walaupun alasanya untuk meredam harga, tapi dampak negatifnya lebih mengerikan yakni membunuh petani dalam negeri.

Petani di Indonesia dengan dukungan pemerintah hingga saat ini tengah semangat atau masif membudidayakan bawang putih, tak hanya untuk penuhi kebutuhan dalam negeri, namun bertujuan untuk ekspor agar pendapatan petani semakin mensejahterakan.

“Permendag ini benar-benar kebijakan kapitalis bertolak belakang dari sistem ekonomi kerakyatan yang negara kita anut. Permendag ini membolehkan negara asal misalnya Cina sebagai negara penghasil bawang putih dan bombay untuk bisa memasukan langsung bawang putih ke Indonesia tanpa kuota. Ini kebijakan yang salah, tidak bisa ditolerir karena jelas menghancurkan program swasembada bawang putih dan petani itu sendiri,” jelasnya.

Selain itu, beber Tri, Permendag Nomor 27 Tahun 2020 itu pun mematikan perekonomian dalam negeri. Yakni keteribatan pengusaha Indonesia dalam mendatangkan barang-barang pangan impor dari negara-negara asal dihilangkan. Sebab negara asal bisa memasukan langsung barangnya ke Indonesia. Artinya, kegiatan importase dimonopoli para pengusaha raksasa yang menguasai barang-barang pangan di negara asal.

“Pengusaha atau importir kecil dalam negeri yang selama ini bisa melakukan kegiatan impor, kini tak diberikan ruang sama sekali akibat Permendag baru tersebut. Para pengusaha kecil di dalam negeri tak bisa melakukan impor berdampak nyata pada tidak berjalannya pertumbuhan ekonomi ekonomi. Tapi ujung semua ini akan merubah struktur bisnis terutama bawang putih dan berikutnya bombay,” tegasnya.

Tri pun menegaskan embebasan izin impor bawang putih akan menciptakan kartel bawang putih yang nilai perdagangannya mencapai Rp7 triliun. Dalam 3 bulan ini importasi bawang putih akan diblok dan hanya dilakukan oleh importir besar dan segelintir importir raksasa ini akan bergabung untuk mengusai produsen bawang putih di Cina hanya menjual ke mereka.

“Importir kecil kita tidak dapat barang dan tidak berani bermain bawang putih, karena pasar akan dikuasai baik dari distribusi, stok maupun harganya, sehingga importir kecil disamping tidak menguasai akses barang dari Cina juga akan kesulitan mengakses pasar di dlm negeri,” tegasnya.

Berbeda bila ada persyaratan RIPH, lanjut Tri, pemerintah bisa menentukan pemerataan terhadap pelaku usaha (importir) siapa yang bisa mengimpor. Bahkan ekstrimnya bisa yagg besar-besar tidak bisa impor, tetapi intinya dengan perberlakuan RIPH pemerintah bisa menentukan pemerataan untuk bisnis bawang putih struktur bisnisnya bukan kartel.

“Berikutnya semangat untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebagian dipenuhi dari produksi petani kita menjadi kandas. Sebab harga dikendalikan oleh kartel dari pemain besar. Kapan harga dinaikkan untuk memperoleh keuntungan dan kapan harga diturunkan untuk memukul petani kita, sehingga petani kita sangat rentan dalam usaha budidaya, jadi akan rugi,” bebernya.

Oleh karena itu, pria yang akrab dipanggil Buyung ini sangat menyayangkan jika alasan penerbitan Permentan Nomor 27 Tahun 2020 itu untuk stabilisasi harga dalam rangka penanganan Covid-19. Sebab jika dilakukan impor, harusnya tidak dengan hanya dilakukan importir besar. Di sisi lain, budidaya bawang putih di daerah sentra produksi seperti Magelang, NTB, Jawa Timur, Jawa Barat dan daerah lainnya masih berjalan normal.

Perlu diketahui, di tahun 2020 ini pemerintah melalui Kementerian Pertanian memproyeksikan penanaman bawang putih sebanyak 40 hingga 60 ribu hektar dan 2021 akan mencapai 80 hingga 100 ribu hektar. Kementerian Pertanian sendiri mengakui telah menghitung ada 600 ribu hektar lahan yang siap untuk ditanam bawang putih.

“Kebijakan swasembada ini harus tetap didukung dengan tetap patuh pada syarat yang harus dipenuhi oleh importir. Pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri harus menjadi prioritas sebab impor adalah langkah terakhir juga memang produksi dalam negeri tidak memenuhi. Bukan justru membiarkan importir tertentu masuk tanpa batas tanpa memenuhi syarat impor dengan dalih stabilisasi harga. Ini keliru, harus kita lawan,” ungkapnya.(*)


BACA JUGA