Eks Sekda Makassar: Manajemen Kepemimpinan Wali Kota Kunci Pembangunan
MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Makassar, Ibrahim Saleh angkat bicara mengenai pernyataan Abdul Rahman Bando (ARB) yang mengungkap kegagalan pembangunan Makassar rentang 2014-2019. Statement Calon Wakil Wali Kota Makassar itu dinilainya tidak salah, tapi ada pula yang keliru dan perlu diluruskan.
Ibrahim mengurai program pembangunan Makassar periode 2014-2019 memang banyak yang gagal. Namun, keliru bila menjustifikasinya sebagai kegagalan Deng Ical karena semua orang tahu bahwa Wakil Wali Kota Makassar itu memang tidak diberikan ruang dan peran oleh Wali Kota sebagai orang nomor satu di Kota Makassar yang memiliki kemenangan kala itu.
Menurut Ibrahim, kunci berhasil atau tidaknya pembangunan daerah terletak pada manajemen dan gaya kepemimpinan kepala daerah. Wali kota sebelumnya gagal karena tidak mendelegasikan sebagian kewenangan dan tanggung jawab kepada para pembantunya, mulai dari Wakil Wali Kota, Sekretaris Daerah, Asisten dan Kepala SKPD.
“Saya sangat yakin pak ARB paham dan mengerti karena beliau mantan kepala dinas (perikanan dan pertanian) di era itu. Makanya, saya berpandangan bahwa arah statement pak ARB tentang kegagalan program Pemkot Makassar kala itu sesungguhnya bukan karena pembantu Wali Kota, mulai dari Wakil Wali kota, Sekkot, Asisten dan Kadis,” jelasnya.
“Ya bukan pembantu wali kota menjadi penyebab kegagalan program Pemkot Makassar. Penyebab utamanya adalah, gaya kepemimpinan Wali Kota yang tidak mempercayai dan mendelegasikam sebagian kewenangan dan tanggung jawab kepada staf atau pembantunya,” sambung Ibrahim.
Lebih jauh, ia mengungkapkan Deng Ical maupun ARB pastinya memiliki masalah yang sama di era kepemimpinan Wali Kota sebelumnya. Bahkan, Deng Ical lebih berat tekanannya, dimana ia dianggap rival sehingga benar-benar tidak diberikan ruang dan peran oleh Wali Kota. Olehnya itu, bila ARB berkukuh menyebut Deng Ical gagal, maka tidak ada beda dengan dirinya selaku kepala dinas kala itu.
“Di era kepemimpinan DP, selaku Wali Kota sistem pemerintahan memang tidak berjalan sesuai regulasi pemerintahan yang ada. Banyak fungsi dan peran terpotong. Misalnya peran wakil wali kota kurang optimal karena tertutup, bahkan bisa dibilang terkunci oleh pola manajemen dan gaya kepemimpinan Wali Kota kala itu.”
“Termasuk juga peran-peran kepala dinas yang secara teknis mengeksekusi program tidak dapat berjalan maksimal. Misalnya dinas perhubungan terkait kegagalan pete-pete smart dan halte kapsul, lalu ada juga dinas perikanan dan pertanian terkait program TPI modern dan banyak lagi,” tutup dia. (*)