Menuju 2050, Vale Indonesia Menambang Tanpa Emisi Karbon
LUWU TIMUR, GOSULSEL.COM — Conference of the Parties (COP26) United Nation Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) yang digelar di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober lalu menjadi momen penting bagi PT Vale Indonesia Tbk. Di hadapan para petinggi pemerintah dan elit pengusaha, Vale menggaungkan tambang bebas emisi karbon atau not zero emission pada tahun 2050.
Saat itu, Vale Indonesia yang dihadiri langsung oleh Presiden Direktur, Febriany Eddy ditunjuk sebagai pembicara dalam forum Business Leadership. Salah satu rangkaian kegiatan dari COP26 ini membahas soal upaya perusahaan dalam menjaga lingkungan.
Febriany Eddy mengambil kesempatan itu dengan menyampaikan sejumlah hal penting berkaitan dengan masa depan perusahaan tambang yang berpusat di Sorowako, Luwu Timur ini. Salah satunya, emisi karbon.
Emisi karbon sendiri merupakan gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti CO2, solar, LPJ, dan bahan bakar lain. Singkatnya, merupakan pelepasan karbon ke atmosfer.
Seiring dengan digunakannya dalam perusahaan seperti pabrik, emisi karbon yang berlebih telah menjadi momok menakutkan untuk keberlangsungan bumi. Dapat menyebabkan pemanasan global atau efek rumah kaca. Dengan begitu, peningkatan suhu di bumi terjadi secara signifikan.
Belahan dunia manapun telah merasakan dampaknya. Suhu sudah mulai terasa semakin panas.
Tercatat, beberapa anomali sudah terjadi. Es di wilayah pesisir Kutub Utara dilaporkan mencair dua kali lebih cepat pada Juni 2021 oleh para peneliti di Universitas College London (UCL) Inggris. Makassar, Sulsel, Indonesia juga kena dampaknya. Terik panas matahari kian menyengat, terparah pada April 2021.
Melalui tema “Supporting Ambitious Target Achievement on GHG Emision Reduction”, Febriany menyampaikan komitmen Vale Indonesia memperhatikan lingkungan. Seiring dengan memacu pertambangan berkelanjutan.
“Saya ingin menggunakan momen ini untuk menegaskan kembali komitmen Vale untuk menjadi industri pertambangan, yang didorong oleh keberlanjutan dan bekerja untuk mencapai target ambisius net zero emission pada tahun 2050,” tegas Febriany.
Untuk mencapai target, Vale Indonesia secara bertahap telah melakukan pengurangan emisi karbon. Dan menjadi jawaban dari solusi untuk perubahan iklim.
Salah satunya adalah peningkatan Energi Baru Terbarukan (EBT). Vale Indonesia sejak beroperasi 53 tahun lalu sudah melakukan ini melalui praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Penerapan dan peningkatan EBT dihadirkan Vale Indonesia dengan membangun dan mengoperasikan 3 Unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas sebesar 365 Megawatt (MW). Berkontribusi terhadap 36% total energi yang dibutuhkan perusahaan untuk beroperasi. Pengoperasian 3 PLTA tersebut mampu mengurangi emisi CO2 lebih dari 1 juta ton CO2eq setiap tahun.
Di operasional pabrik di Blok Sorowako juga telah diterapkan penggunaan teknologi electric boiler, dan pemanfaatan biodiesel B30. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai target net zero emission pada 2050.
“Tujuan kami adalah mengurangi emisi sebesar 30% paling lambat pada 2030 dan menjadi net zero emissions pada 2050. Hal ini sejalan dengan Paris Agreement yang telah ditandatangani Vale pada 2019 silam,” jelas Febriany.
Demikian pula nantinya pada pembangunan pabrik baru di area Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah yang akan menggunakan PLTG atau energi gas bumi. Pabrik tersebut akan menjadi pabrik nikel dengan emisi karbon per ton nikel terendah kedua setelah Sorowako yang menggunakan PLTA.
Kemudian disusul pada proyek Pomalaa di Kecamatan Kolaka, Sulawesi Tenggara. Di sana, juga akan menerapkan operasional rendah karbon emisi.
“PT Vale Indonesia sangat fokus pada sektor pertambangan dan processing nikel, meski demikian tentunya operasional yang ramah lingkungan menjadi perhatian utama,” ungkapnya.
Tak hanya pada penerapan operasional ramah lingkungan. Dari sisi komitmen terhadap Paris Agreement yang di teken pada tahun 2020, Vale Indonesia terus melakukan reklamasi pasca tambang serta pembibitan.
Di atas lahan seluas 2,5 hektare di Sorowako, Luwu Timur, dengan menghasilkan sebanyak 700.000 bibit per tahun untuk merehabilitasi 100 hektar area pasca tambang. Data per September 2021, total lahan yang sudah direklamasi mencapai 3.301 hektar.
Vale Indonesia juga melakukan Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan program penanaman tanaman jenis kayu-kayuan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di luar wilayah Kontrak Karya PT Vale. Tujuannya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi DAS sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Saat ini, rehabilitasi DAS dilakukan di 13 kabupaten dan 51 desa dengan luas 10.000 hektar tersebar di Luwu Timur seluas 1.490 hektar, Luwu dan Luwu Utara seluas 1.996 hektar, Tana Toraja seluas 1.190 hektar, Toraja Utara, Enrekang dan Pinrang seluas 979 hektar, Bone seluas 1.735 hektar, Soppeng dan Gowa seluas 1.135 hektar, Barru, Maros, Gowa dan Takalar seluas 1.475 hektar.
“Sampai saat ini praktik rehabilitasi kami masih diakui diantara yang terbaik di Indonesia. Semoga banyak perusahaan tambang yang bisa melakukan praktek pertambangan berkelanjutan seperti yang diterapkan di PT Vale Indonesia Tbk,” tukasnya.(*)