Fesmed 2025 Makassar: Soroti Kekerasan Polisi dan Krisis Pers

Sabtu, 05 Juli 2025 | 21:58 Wita - Editor: adyn - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Di pelataran benteng tua peninggalan kolonial, Fort Rotterdam, sebuah festival akan digelar. Tapi kali ini, bukan sekadar perayaan karya jurnalistik atau pertemuan para pewarta.

Festival Media (Fesmed) 2025 berubah rupa: dari panggung media menjadi mimbar perlawanan. Dari selebrasi profesi menjadi ruang kesaksian mereka yang luka.

pt-vale-indonesia

Festival yang digagas Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  itu akan berlangsung 12–14 September mendatang. Fesmed tak hanya bicara soal ekosistem media digital atau tren jurnalisme investigasi.

Tema itu memotret situasi yang lebih gelap: meningkatnya tekanan terhadap kebebasan pers dan makin kaburnya batas antara negara dan kekerasan.

“Ini saatnya menghadirkan fakta-fakta hukum yang tidak pernah masuk headline,” ungkap Firmansyah, LBH Pers Makassar membuka diskusi pra-Fesmed di Sekretariat AJI Makassar, Jalan Toddopuli 10, Sabtu, 5 Juli 2025.

Ia mencontohkan sejumlah kasus gugatan terhadap media yang dimenangkan oleh pihak penggugat. Bagi Firman, ini menandai bahwa perlindungan hukum terhadap jurnalis dan media makin tergerus.

Bagi Firmansyah, instrumen negara salah satunya aparat kepolisian mulai main terang-terangan. Kasus yang juga tak pernah sampai ke pengadilan adalah kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi pada tahun 2019. Kasus itu mandek, padahal sudah ada empat polisi ditetapkan tersangka.

“Instrumen negara ini mulai main terang-terangan, dalam hal kriminalisasi jurnalis,” terangnya.

*Negara Tanpa Pengawasan, Aparat Semakin Bebal*

Tak hanya tekanan hukum, kekerasan fisik pun masih mengintai jurnalis dan aktivis. Muhammad Ansar, Kepala Advokasi LBH Makassar, mengungkapkan aktor kekerasan paling dominan justru dari kepolisian.

“Mulai dari tingkat Polsek sampai Polres, itu pola yang berulang,” ujar Ansar.

Masalah utamanya, kata dia, terletak pada tumpang tindih kewenangan dan ketiadaan pengawasan. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, tidak ada kontrol langsung dari kejaksaan. Aparat kepolisian bekerja tanpa pengawasan eksternal yang memadai.

“Polri hanya bertanggung jawab pada presiden, dan itu berisiko secara politik,” tambahnya.

Dalam penanganan aksi demonstrasi, misalnya, kekerasan kerap terjadi. Mahasiswa yang turun ke jalan untuk menyuarakan hak justru berhadapan dengan represi.

“Tidak ada SOP yang menjamin prinsip-prinsip HAM ditegakkan di lapangan,” kata Ansar.

LBH Makassar mencatat sedikitnya 20 kasus kekerasan dalam setahun terakhir yang menunjukkan betapa ringkihnya jaminan keamanan bagi warga sipil.

Dalam iklim seperti itulah, Fesmed 2025 menghadirkan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya sebagai forum intelektual bagi kalangan jurnalis, tapi sebagai ruang ekspresi para korban kekerasan.

“Ini tempat di mana para korban bisa bicara tanpa takut diintimidasi,” ujar mantan Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir saat obrolan ringan sore itu.

Fesmed tahun ini memang dirancang bukan hanya untuk menyajikan diskusi panel, workshop, atau pelatihan media. Tapi juga sebagai ruang kesaksian, di mana jurnalis korban kekerasan, aktivis lingkungan yang dikriminalisasi, hingga kelompok minoritas yang didiskriminasi juga diperhadapkan dengan hukum, bisa naik ke panggung dan didengar.

Di tengah normalisasi kekerasan dan melemahnya institusi demokrasi, festival ini ingin menjadi pengecualian. Sebuah ruang kecil di mana negara tidak ikut campur. Di mana aparat tak berjaga di balik pagar. Di mana mikrofon tak dibatasi sensor.

“Setidaknya, untuk fesmed nanti jadi kemenangan kecil bagi para korban kekerasan, korban tambang dan lainnya,” tambah mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Haswandy Andi Mas. (*)


BACA JUGA