Toko Karya Sutera di Jalan Andalas. (Foto: Isnaniah Nurdin).

Karya Sutera, Ketika Mimpi Telah Redup

Sabtu, 10 Oktober 2015 | 16:02 Wita - Editor: Nilam Indahsari - Reporter: Citizen Reporter

Halaman 1

Makassar, GoSulsel.com – Tanda-tanda kemunduran Karya Sutera mulai terlihat di tahun 1995 saat Hajjah Nursiah wafat. Bersama dengan wafatnya sang isteri, surut pula semangat hidup Haji Anwar Asanting.

Sejak saat itu, ia tidak lagi berpikir untuk mengembangkan usaha. Tak ada lagi mimpi untuk menjual ribuan potong pakaian seragam dalam sebulan. Tak ada lagi mimpi untuk meraih omzet puluhan juta rupiah dalam sebulan. Tak ada lagi mimpi untuk menerima pesanan dari pulau seberang.

pt-vale-indonesia

Sang penyemangat hidup tak ada lagi di sisinya. Haji Anwar Asanting hanya berpikir untuk mempertahankan apa yang dimilikinya saat itu, toh sang isteri tak lagi berada di sisinya untuk menikmati seluruh hasil kerja kerasnya.

Tahun 2011, Haji Anwar Asanting menghembuskan nafas yang terakhir, usahanya kemudian dilanjutkan oleh putera ketiganya, Ahmad Yani Anwar. Ia berusaha mempertahankan bisnis yang dirintis ayahnya selama puluhan tahun di tengah persaingan yang kian ketat.

Kini, Karya Sutera tidak lagi melayani permintaan pakaian seragam dari departemen atau instansi, hanya berfokus pada seragam sekolah dan lambang. Kendati permintaan itu tetap ada, namun keterbatasan SDM yang dimiliki tidak memungkinkan untuk melayani permintaan itu.

Halaman 2

“Kami hanya memiliki empat penjahit. Dengan jumlah tenaga seperti itu tidak mungkin melayani permintaan dalam jumlah besar,” terang Ahmad Yani.

40 penjahit yang dulu dimiliki Karya Sutera sebagian besar berasal dari Jawa dan cuma sedikit di antaranya yang berasal dari Makassar.

“Mereka sudah pulang kampung semua. Yang ada juga sudah beralih profesi. Sekarang banyak penjahit tapi sedikit yang bisa memenuhi standar Karya Sutera,” lanjutnya.

Di Karya Sutera, tiap lembar hasil jahitan yang ada diperiksa satu per satu. Jika ada hasil jahitan yang tidak sesuai standar, akan dikembalikan untuk diperbaiki sampai hasilnya sesuai standar.

Ahmad Yani pernah mencoba menggunakan jasa beberapa penjahit namun hasilnya tidak sesuai standar yang diharapkan. Sampai akhirnya ia bertahan dengan 4 penjahit yang dimilikinya saat ini. Keterbatasan SDM yang dimiliki membuat Ahmad Yani tidak mampu memenuhi seluruh permintaan pelanggan. Pesanan yang memberikan tenggat waktu tidak dapat dilayani karena SDM yang dimiliki tidak dapat bekerja di bawah tekanan waktu.

Halaman 3

“Jadi kami hanya menerima pelanggan yang memberikan kelonggaran waktu karena penjahit yang kita punya hanya empat dan mereka tidak bisa bekerja kalau diburu-buru waktu,” tegasnya.

Kondisi ini membuat omzet yang dicapai Karya Sutera tiap bulannya tidak menentu. Besarnya omzet juga tergantung musim, terkadang bisa mencapai Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per bulan di luar musim. Namun, terkadang juga di musim tahun ajaran baru tidak mampu melayani permintaan pelanggan karena keterbatasan tenaga.

“Seperti sekarang, kami tidak bisa melayani permintaan pelanggan karena empat penjahit yang ada tidak bisa menutupi permintaan pelanggan,” jelasnya.

Stok barang yang dimiliki juga terbatas untuk satu nomor pakaian, stok yang dimiliki hanya satu. Di tahun 2005 sampai tahun 2006 untuk satu nomor pakaian bisa 5 sampai 7 lembar stok disediakan. Munculnya usaha sejenis juga berpengaruh terhadap menurunnya omzet Karya Sutera. Pembeli memiliki banyak pilihan akan berbelanja di mana. Karya Sutera bukan lagi satu-satunya pilihan pelanggan.

“Jelas berpengaruh karena kalau satu pasti fokus ke sini. Kalau ada yang lain bisa terpecah,” ujar Ahmad Yani.

Halaman 4

Satu hal yang tidak berubah dari Karya Sutera adalah standar kualitas yang melekat padanya. Di tengah minimnya SDM yang dimiliki dan tidak stabilnya omzet yang dicapai, Ahmad Yani tetap berusaha mempertahankan standar kualitas yang telah dibangun selama puluhan tahun.

 

Isnaniah Nurdin


BACA JUGA