Miris, Kelas Jauh Pondok Pesantren Al-Muhajirin DDI Sakeang Maros Terlantar
Maros, GoSulsel.com – Madrasah Iptidayyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) yang dikelola oleh Yayasan Pondok Pesantren Al-Muhajirin DDI Sakeang Maros kekurangan tenaga pengajar.
Jumlah siswa dua sekolah ini cukup banyak mencapai 73 orang. siswa MI sebanyak 53 sedanhkan MTS 20 orang.
“Sudah sepekan ini tidak ada seorang guru yang datang mengajar ke sekolah itu. Terkesan ditelantarkan begitu saja oleh pihak yayasan sebagai penanggung jawab sekolah,” kata salah seorang siswa bernama Sabaria, ketika ditemui Sabtu (13/1/2018).
Sabaria mengatakan, dulu pernah ada pengajar tetap, tapi sejak seminggu ini tidak ada lagi. Biasanya juga hanya mahasiswa dan relawan yang mengisi pembelajaran tapi tidak menetap hanya musiman.
“Di sekolah ini hanya terdapat satu orang guru yang mengajar dengan status sebagai guru sukarela dan dalam sepekan aktivitas belajar mengajar hanya dilakukan satu sampai dua kali,” katanya.
Dua sekolah ini berada di Dusun Bara, Desa Bonto Somba, Kecamatan Tompobulu, yang terletak disebelah timur Kabupaten Maros dan berbatasan dengan Malino, Gowa, ternyata bermukim sedikitnya 400 kepala keluarga (KK).
Dusun Bara yang sangat terpencil terselimuti dengan hutan lindung pemerintah ini terbilang elok dan hijau yang menyejukkan.
Dari pusat kota Maros, anda harus menempuh jarak sekitar kurang lebih 45 kilo meter. Dengan melintasi jalan aspal, beton dan jalan setapak yang hanya bisa dilintasi dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan medan berat seperti trail.
Untuk sampai kesana akan terasa melelahkan di karenakan jarak tempuh yang cukup jauh dan medannya yang sulit.
Hal ini dikarenakan untuk mengakses lokasi ini membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam lamanya berjalan kaki dengan medan terjal dan mendaki di dalam hutan.
Akan tetapi, sesampainya rasa lelah akan buyar seketika akan pemandangan yang cukup menawan.
“Harapan kami, mudah-mudahan sekolah ini tetap maju dan anak-anak juga tetap belajar dengan baik dan pihak sekolah memberikan perhatian,” ungkap Sabaria.
Koordinator Indonesia timur Lembaga Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP), Bagus Dibyo Sumantri saat menyambangi sekolah mengatakan, semua yang melihat kondisi sekolah seperti ini pasti akan merasa sedih, meskipun semangat belajar para siswa sangat tinggi dan antusias orang tua sampai harus mengantar dan menunggu anaknya kembali pulang sekolah.
“Meski dengan alasan apapun, semestinya tidak ada sekolah di Maros seperti ini, namun karena hal ini bagian dari swadaya masyarakat untuk membuat sekolah. Meski masih terbilang belum layak,” katanya.
Ketua IGI Maros ini mengakui, adanya kekurangan sarana dan prasarana yang dimiliki, khususnya pada tenaga pengajar yang sebelumnya hanya satu orang saja.
“Namun di sini ada harapan untuk belajar yang luar biasa, saya berharap pemerintah atau semua pihak, baik NGO dan lainnya bergerak bersama-sama, karena di sini lokasinya terpencil dan sangat butuh pendidikan yang layak,” jelasnya.
Saat berkunjung ke dusun ini, dia menyamatkan diri mengajar yang diselingi dengan yel-yel untuk memacu semangat siswa.(*)