Masalah Menanti Birokrasi Makassar Diujung Masa Jabatan Danny Pomanto
Makassar, GoSulsel.com – Ancaman masalah menanti birokrasi Kota Makassar di ujung masa jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto dan Syamsi Rizal MI.
Masa jabatan Danny berakhir pada bulan Mei 2019. Sementara Pilwali serentak terdekat akan dilaksanakan pada tahun 2020. Artinya ada kekosongan jabatan Wali Kota sekitar belasan bulan. Hal ini menjadi buntut kemenangan kolom kosong pada Pilwali Juli lalu.
Kejadian ini merupakan hal pertama sepanjang sejarah birokrasi dan Pemilihan langsung di Indonesia. Tentu akan menjadi perdebatan yang rumit, karena pada kekosongan pejabat defenitif tersebut, akan dilakukan pembahasan perencanaan anggaran selama dua kali, yakni APBD Perubahan tahun 2019 dan APBD Pokok tahun 2020.
Jika dilakukan pengangkata Pejabat Wali Kota oleh pemerintah Provinsi dalam hal ini Gubernur, maka wewenang dan tanggung jawab pejabat pelaksana sangat terbatas. Pj hanya memiliki wewenang sebagai pelaksana administrasi, artinya tidak dibenarkan mengeluarkan kebijakan, termasuk penyusunan dan pelaksana anggaran.
Tidak hanya itu saja, pada saat itu juga tidak ada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD). Yang menjadi masalah krusial, lantaran tidak ada visi dan misi yang menjadi rujukan untuk menyusun RPJMD.
Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Danny Pomanto yang dikonfirmasi soal ancaman masalah tersebut mengatakan, jangankan di DPRD dan ekskutif di Makassar, pemerintah pusat juga bengung dengan masalah tersebut.
“Contoh, kekuasaan itu dari hasil Pilkada, intinya adalah otoritas penggunaan uang rakyat. Penggunaan uang rakyat itu harus ada dasar-dasar hukumnya. Dasar hukumnya itu adalah RPJMD, yang berdasarkan Visi dan Misi Wali Kota. Sekarang ini kekosongan Wali Kotanya tidak ada. Terus siapa punya RPJMD. Ini pertanyaanya,” kata Danny saat dikonfirmasi belum lama ini.
Meskipun harus merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) tapi tidaklah membahas masalah tekhnis. “Dimana dasar RPJPnya. RPJP membangun lima tahunan. Sekarang tidak ada, orang semua bingung, kalau tidak ada dasar undang-undangnya, otorisasi penggunaan uang rakyat itu menjadi kabur. Ini akan menjadi sensitif siapa yang memakai uang rakyat itu,” jelasnya.
Dia memberikan contoh masalah yang lebih krusial lagi, jika suatu waktu tiba-tiba pendapat daerah menurun, maka siapa yang harus bertanggung jawab. “Ini tidak sederhana ini, maka akan ada kekacauan dan banyak orang ditangkap nanti. Ini adalah masalah yang menakutkan,” tandasnya.(*)