Apa Kabar Kesetaraan Gender?
(Catatan Hari Perempuan Internasional)
Oleh: Maemanah
Akademisi di Universitas Sawerigading Makassar
Sebelum Nabi Muhammad datang membawa ajarannya, anak-anak perempuan yang baru lahir lazim dibunuh di kebudayaan masyarakat Arab pada abad ke-6 Masehi. Sementara dalam masyarakat perbudakan Romawi, perempuan selain menjadi budak yang dapat dimiliki, juga menjadi alat pemuas nafsu belaka. Perempuan non budak pun sepenuhnya menjadi milik lelaki dan tidak boleh melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan publik termasuk dilarang memperoleh pendidikan.
Selanjutnya terjadi perubahan besar di era industrialisasi dunia, tanggal 8 Maret 1857 di kota New York para buruh perempuan dari industri tekstil mengadakan sebuah aksi protes atas upah yang rendah dan kondisi kerja yang tidak manusiawi. Polisi menyerang mereka dan membubarkan aksi ini. Dua tahun kemudian para perempuan ini membentuk serikat pekerja untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka di tempat kerja.
Kemudian pada tanggal 8 Maret 1908, sekitar 15.000 perempuan berbaris sepanjang kota New York menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih baik, hak suara dan mengakhiri pekerja anak. Mereka mengadopsi slogan “Bread and Roses”, dimana roti melambangkan keamanan ekonomi dan mawar menggambarkan kualitas hidup yang lebih baik. Gerakan ini kemudian menjadi inspirasi untuk perempuan di berbagai negara untuk melakukan hal yang sama.
Pada tahun 1910, lebih dari 100 perempuan sosialis dari 17 negara berkumpul di Copenhagen, Denmark, untuk mengadakan sebuah konferensi. Salah satu hasilnya adalah menjadikan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (IWD) karena dianggap sebagai tonggak bersejarah dimana ribuan buruh perempuan garmen melakukan aksi protes pada 8 Maret 1957 di New York. Kemudian IWD sebagai hari besar perempuan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1975.
Memperingati Hari Perempuan Internasional, hendaknya perayaan yang diadakan setiap tahun tidak hanya sekedar memaknai Hari Perempuan Internasional sebagai perayaan saja, tetapi sebagai bagian dari perjuangan perempuan untuk menuntut hak-haknya yang sampai hari ini belum selesai. Perempuan dimanapun masih berhadapan pada persoalan yang sama, mulai dari masalah sosial, budaya, agama dan tempat kerja yang masih memarginalisasi mereka.
Berbagai jenis persoalan yang ada dalam kehidupan perempuan Indonesia dilatarbelakangi oleh landasan sosiologis, yakni tingginya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, baik yang terjadi di ranah domestik (kekerasan dalam rumah tangga, sunat perempuan) maupun ranah publik (perdagangan perempuan, eksploitasi buruh migran perempuan, kekerasan seksual di ruang publik, pernikahan perempuan usia dini, putus sekolah anak perempuan, eksploitasi ketubuhan dan seksualitas perempuan di media, kematian ibu dan bayi, rendahnya partisipasi dan representasi perempuan dalam lembaga-lembaga perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif), semuanya adalah realitas yang masih dihadapi perempuan kini. Faktor-faktor penyebab terjadinya persoalan tersebut diantaranya karena kemiskinan, adat, norma dan nilai sosial budaya yang patriarkhis serta interpretasi ajaran agama yang bias gender.
Menurut catatan akhir tahun 2018, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan melaporkan sebanyak 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia. Sedangkan dalam Indeks Kesetaraan Gender yang dirilis Equal Measures tahun 2018, Indonesia mendapat hasil beragam di berbagai indikator yang dijadikan acuan. Indonesia misalnya mendapat pujian lantaran mencatat tingkat melek aksara yang termasuk paling tinggi di Asia (Perempuan 93,59% dan laki-laki 97,17%). Namun karena pengaruh konservatisme maka dalam berbagai peraturan perundang-undangan masih mengesampingkan hak-hak sipil kaum perempuan. Hukum perpajakan dan warisan misalnya dinilai masih mendiskriminasi perempuan. Selain itu produk legislasi yang melindungi perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan domestik masih lemah dan belum diberlakukan secara tegas.
Sebagai negara yang meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women), penting bagi Indonesia untuk menggunakan perspektif hak asasi manusia dan mengintegrasikan prinsip-prinsip konvensi CEDAW dalam produk perundang-undangan yakni prinsip non diskriminasi, prinsip kesetaraan/persamaan substantif, dan kewajiban negara. Prinsip kesetaraan/persamaan substantif adalah memberikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki atas akses, kesempatan untuk berpartisipasi, serta kontrol terhadap pengambilan keputusan.
Dalam hal ini, perlu untuk memberikan defenisi yang jelas terkait dengan istilah gender serta memberikan pengertian apa yang dimaksud kesetaraan dan keadilan gender kepada masyarakat, karena selama ini gender sering disalah artikan sebagai jenis kelamin perempuan. Gender adalah pemberian peran yang berbeda serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk atas dasar pembedaan biologi dan hasil konstruksi sosial budaya. Gender dapat dipelajari, berubah setiap waktu, dan berbeda untuk setiap budaya dan tempat.
Kesetaraan atau persamaan substantif yang dimaksud berbeda dengan “kesamaan” (“sameness”) yang sering disalah-artikan menuntut segala kondisi dan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan tanpa pembedaan berdasarkan apapun. Istilah kesetaraan atau persamaan dalam perspektif gender adalah tetap mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi karena perbedaan biologisnya tersebut dibanding laki-laki, oleh karena itu negara wajib membuat kebijakan guna mempercepat kesetaraan perempuan dan laki-laki, melalui kebijakan tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan tindakan khusus (special measures) untuk perlindungan maternitas. Kewajiban negara untuk membuat kebijakan tindakan khusus sementara atau sering disebut affirmative action untuk perempuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan agar kebijakan tersebut tidak hanya di bidang politik, tetapi juga diterapkan di semua bidang dimana terjadi kesenjangan gender.
Disinilah negara sebagai aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) untuk memenuhi hak-hak dasar perempuan, serta memastikan adanya kesetaraan perempuan dan laki-laki untuk berperan di berbagai bidang.
Selamat Hari Perempuan Internasional.