Paradoks Pengembangan Ekowisata di Desa
Oleh: Anis Kurniawan (Penulis Buku)
MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Patut disyukuri, Indonesia dengan keragaman budaya, suku, bahasa dan keunikan wilayah adalah lanskap alami yang menyimpan rahasia juga daya tarik tinggi. Di sanalah spot-spot wisata itu bisa dikapitalisasi dan dimodifikasi sehingga layak dikunjungi. Memenuhi standar ecotourism (ekologi, ekonomi, sosial-budaya, edukasi, pengalaman, kenangan dan kepuasan), dan yang terpenting adalah memenuhi standar wisata ramah lingkungan.
Beberapa tahun terakhir, desa-desa di Indonesia bergegas mengeksplorasi potensi wisatanya. Ruang-ruang otentik yang ada di sungai, di pesisir, bukit dan pegunungan mulai dilirik lebih serius sebagai basis eco-wisata.
Kesadaran bahwa di lingkungan terdekat kita menyimpan sesuatu yang spektakuler dan menjanjikan mulai bertumbuh. Tak sekadar sebagai sebuah potensi bernilai ekonomi, tetapi juga sebagai ikon dan utamanya sebagai upaya membangkitkan kebanggaan pada kampung sendiri.
Potret Pengelolaan Ekowisata di Desa
Sebagai contoh, sejak 2017 silam, ada wisata alam bernama “Rammang-Rammang”di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan yang jadi buah bibir di mana-mana. Terletak di Desa Salenrang, Kabupaten Maros dan hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Makassar. Tempatnya amat eksotik karena dikelilingi karst Maros yang dikenal terbaik kedua di dunia. Akses menuju Rammang-Rammang juga tak kalah menariknya, pengunjung menyusuri sungai dengan perahu kecil, sembari mengamati gugusan karst dan area persawahan yang apik.
Sejak awal, tempat itu diprediksi bakal mendunia. Pada Rakernas Indonesia Marketing Association (IMA) 2017 di Balikpapan, Rammang-rammang diperkenalkan sebagai lokus baru yang layak dikunjungi sebagai satu pesona Indonesia (wonderful Indonesia). Bukan tanpa alasan, Rammang-Rammang memiliki potensi yang marketeble di masa mendatang. Faktanya, hingga saat ini, wisata Rammang-Rammang jalan di tempat, pesonanya tergerus karena tak terkelola maksimal.
Bukan hanya soal infrastruktur yang tidak memadai, faktor keamanan dan kenyamanan—di Rammang-Rammang misalnya belum disiapkan tawaran alternatif yang membuatnya selalu dirindukan. Tak ada villa di dalam area wisata, tak ada aneka kuliner khas lokal bernuansa alami, pagelaran budaya, atau konsep wisata ramah lingkungan. Ini membuat wisatawan berpikir seribu kali untuk berkunjung kedua kalinya.
Hal yang sama saya jumpai saat berkunjung di wisata mangrove Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kawasan ini tergolong menarik sebagai kawasan ekowisata mangrove, tetapi pengunjung hanya sebatas menyaksikan hutan bakau, panorama laut beserta angin sepoinya.
Pengunjung belum disajikan kuliner khas pesisir, makanan dan minuman berbahan bakau, atau fasilitas jelajah hutan bakau. Bahkan, sangat disayangkan, kubangan sampah begitu massif, merusak pemandangan. Kawan Saya bernama Fumiko Furukawa (Dosen dari Kobe University Jepang) yang pernah studi banding bersama mahasiswanya di Tongke-Tongke mengagumi keindahan kawasan ini, tetapi ia terkejut dan sangat terganggu dengan sampah plastik yang berseliweran.
Belum lagi adanya konflik kepentingan antara otoritas lokal (Kepala Desa) dan pihak Pemerintah Daerah Sinjai terkait pembagian pemasukan. Hal ini berakibat pada tidak adanya pengembangan serius di Tongke-Tongke yang berdampak positif pada masyarakat di sekitarnya.
Di Kabupaten sebelahnya yakni Bulukumba juga mulai tertarik mengembangkan wisata mangrove. Tepatnya di Desa Mannyampa, Kecamatan Ujungloe, Kabupaten Bulukumba. Sebuah kawasan wisata baru bernama “Mangrove Luppung” juga diperkenalkan di awal tahun 2020.
Antusias warga sekitar cukup tinggi mengunjunginya, terutama untuk kepentingan swafoto dan mungkin melunasi rasa penasaran. Sayangnya, seperti banyak spot ekowisata di banyak tempat, Luppung juga diselimuti banyak kelemahan.
Merawat keberlanjutan di mana masalahnya? Pertama, perencanaan pembangunan ekowisata di desa tidak memikirkan aspek keberlanjutannya. Kedua, biaya yang dikeluarkan dalam pembangunan destinasi ekowisata seringkali hanya terfokus pada penataan ruang tanpa memikirkan inovasi, kreativitas dan kekhasannya.
Misal, bagaimana menawarkan sesuatu yang sungguh otentik dan memukau, fasilitas yang ramah bagi pengunjung serta wisata ramah lingkungan ini semua selalu absen dalam lanskap ekowisata di desa.
Di desa-desa lain di Indonesia, juga hampir mengalami hal yang sama. Seringkali karena latah-latahan melihat sepak terjang desa lain, sebuah destinasi ekowisata dibangun sekadar mengandalkan eksotika alam. Tanpa perencanaan berkelanjutan dan manajemen yang baik, destinasi itu akan mati suri seiring waktu.
Selain dukungan kebijakan dan perencanaan, ekowisata lokal tidak menggambarkan etos budaya lokal. Data Klikhijau.com mengungkap, masyarakat di pedesaan belum semuanya memiliki model pengelolaan sampah yang baik. Tidak sedikit warga di desa membuang sampahnya dengan cara: bakar, timbun dan buang ke sungai atau lautan. Perilaku buruk ini juga mewarnai eksistensi destinasi ekowisata di desa, di mana sampah dan pemakaian plastik sekali pakai misalnya belum jadi prioritas untuk dikelola.
Hal ini membuat destinasi wisata di pedesaan terdesak oleh masalah lingkungan. Padahal, destinasi ekowisata sejatinya justru menawarkan edukasi pada pengunjungnya. Menikmati wisata alam berarti memasuki ruang kontemplasi terdalam, betapa alam menyediakan kebaikan pada manusia. Karenanya, berwisata alam berarti meneguk makna tentang pentingnya harmonisasi antara alam dan manusia. Sebuah penghayatan tentang alam semestayang harus dijaga dan dilestarikan dengan cinta.
Dengan demikian, membangun destinasi ekowisata di desa berarti merawat tatanan nilai-nilai lokal (local wisdom) di dalamnya. Mengagendakan keberlanjutan (sustainability), partisipasi dan keteledanan dari warga lokal, serta menumbuhkan harapan berkemajuan dari desa.
Bila tidak, ini akan menjadi paradoks sepanjang masa, desa dibangun tapi dimensi lingkungan dan kebudayaannya tergerus perlahan.
Oleh sebab itu, tidak ada cara lain, ekowisata desa harus didesain semaksimal mungkin, dengan tidak melupakan otentitas dan kekayaan lingkungannya. Desa harus menjelma sebagai rumah kenangan yang selalu menggoda disambangi berulang kali.(*)
Kotributor: Khaerul Fadli