(Foto:Hari Jadi Bone/Citizen report/GoSulsel.com)

Ma’baca, Cermin Akulturasi Islam dan Kebudayaan Bugis-Makassar

Minggu, 05 Juni 2016 | 18:55 Wita - Editor: Irwan Idris -

Makassar, GoSulsel.com — Setiap tempat memiliki cara perayaan tersendiri kala ramadhan menyapa. Sama halnya kota Makassar, yang menyimpan sekelumit keindahan menjalani bulan penuh berkah. Tradisi-tradisi ramadhan di kota pesisir ini mengandung sakralitas keislaman yang terakulturasi ke dalam satu entitas kebudayaan Bugis-Makassar.

Dialog kebudayaan dan keislaman pada masyarakat Bugis-Makassar yang mendiami kota Makassar tercermin dalam ritus-ritus ramadhan yang melebur ke dalam sebuah tradisi. Sebelum ramadhan, masyarakat Bugis-Makassar masih menjalankan tradisi surommaca atau ma’baca. Tradisi tersebut dilakukan sebagai ungkapan do’a keselamatan pada leluhur masing-masing keluarga.

pt-vale-indonesia

Suromaca/ma’baca dilakukan dengan kegiatan do’a bersama yang dipimpin seorang anrong guru yang diamanahkan oleh pemilik hajatan. Pada pelaksanaannya, do’a bersama ini mensyaratkan kehadiran berbagai makanan yang dihidangkan bagi orang-orang yang ikut berdo’a.

Suromaca/ma’baca kerap pula dilakukan pada hari raya idul fitri dan idul adha. Atau, pada saat sebuah keluarga hendak mengirimkan do’a kepada arwah leluhur melalui anrong guru dan orang-orang yang diundang.

Secara historis, suromaca/ma’baca telah ada jauh sebelum islam masuk ke tanah Bugis-Makassar. Bahkan sebelum islam diterima, masyarakat Bugis-Makassar telah terlebih dahulu mengenal dewata sewuae (Tuhan yang satu). Kesamaan pandangan ini dengan aqidah islam memudahkan terjadinya akulturasi kedua kebudayaan.

Pada prinsip tersebut, semua adat yang bertentangan dengan syariat serta merta ditinggalkan. Hanya adat yang tidak menjadi aturan pokok dalam beragama yang tetap dijalankan, suromaca/ma’baca salah satunya. Sebagaimana pendapat Nurhayati Rahman, akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin, “Islam yang datang ke tanah Bugis justru “diberi baju adat”. Sehingga kultur yang tidak diatur sama sekali oleh ketentuan syariah sama sekali tidak ditinggalkan,” ungkapnya dalam buku berjudul Cinta, Laut dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo yang diterbitkan La Galigo Press tahun 2006.(*)