Tahun Baru Hijriah dan Transformasi Sosial Pemuda Sulsel

Minggu, 02 Oktober 2016 | 17:50 Wita - Editor: Irwan Idris -

GoSulsel.com — Penamaan Hijriah tentu tidak bisa dilepaskan dari tinjauan sejarah. Tahun baru hijriah berawal dari tindakan Khalifah Umar bin Khattab untuk memilih Hijrah nabi sebagai pangkal perhitungan kalender islam, bukan misalnya memilih kelahiran Nabi (yang saat itu belum menjadi seorang nabi, melainkan hanya seorang bayi Muhammad). Tindakan Umar itu sudah tepat karena selaras pada prinsip besar islam yakni penghargaan bukan berdasarkan keturunan, namun penghargaan dalam islam berdasarkan prestasi kerja (Q.s. al-Najm/53:36- 42). Dan prestasi kerja Nabi Muhammad S.A.W adalah seorang Utusan Allah yang paling sukses dan paling besar pengaruhnya kepada peradaban umat manusia. Oleh karena itu maka tepatlah Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad S.A.W sebagai tokoh terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Maka menirukan jargon yang sering muncul dalam masyarakat, salah satu inti makna Hijrah ialah semangat mengandalkan penghargaan karena prestasi kerja, bukan karena pertimbangan kenisbataan (asriptive) yang sekedar memberi gengsi dan prestise seperti keturunan, asal daerah, kebangsaan, bahasa dan lain-lain.

Selain itu tahun Hijriah tidak lepas dari terma Hijrah yang berari “berpindah”. Berpindah dari keadaan yang kurang baik menuju keadaan yang baik, dari keadaan yang baik menuju keadaan yang lebih baik atau dalam kata lain perbaikan terus menerus (kontinu) menuju kemajuan atau progres.

pt-vale-indonesia

Menurut Dr. Ali Syari’ati (1997), sejarah hijrah mengandung pelajaran berharga jika direnungkan oleh semua orang. Menurutnya, hijrah adalah sebuah loncatan besar umat manusia. Di dalamnya tercermin semangat perubahan pandangan masyarakat yang pada gilirannya menggerakkan mereka untuk beralih dari lingkungan yang beku menuju kemajuan dan kesempurnaan.

Karena itu, dari sudut pandang sosiologis, hijrah menurut Syariati merupakan sebuah proses pemutusan hubungan masyarakat dengan tanah kelahirannya. Sehingga, keterputusan itu dapat mengubah watak dan cara pandangnya. Dari jumud dan kaku terhadap tanah kelahirannya, ke arah masyarakat yang lebih terbuka dan dinamis. Meminjam analisis sejarawan Arnold J. Toynbee dalam paradigma “pergi dan kembali”, orang-orang besar dalam sejarah umat manusia yang membangun peradaban, agama-agama dan masyarakat, pada awalnya selalu memulai perjuangannya dengan meninggalkan tanah airnya. Mereka keluar dari masyarakatnya dan tanah kelahirannya itu sebelum akhirnya kembali lagi ke tempat asalnya untuk melanjutkan misinya yang tertunda dulu.

Dalam konteks ini pula, pilihan bangsa Indonesia beralih meninggalkan Orde Baru ke Orde Reformasi dapat dipahami. Orde baru yang beku dan lebih banyak menekan kebebasan individu ditinggalkan. Seluruh rakyat Indonesia hijrah. Mereka memilih pindah dari praktek kehidupan yang dirasa menghimpit, mengekang, nepotis, dan juga korup. Tapi sudahkah rakyat benar-benar terbebas dari keadaan buruk pada orde sebelumnya? Indonesia mungkin memang sudah berubah. Hanya perubahan itu berjalan pelan sekali sehingga tak urung membuat frustasi sebagian anak bangsa yang melampiaskannya dalam kekerasan dan pemberontakan di jalan-jalan.

Sepertihalnya di akhir tahun 1437 H ini dipertontonkan oleh pemuda/mahasiswa di beberapa kampus yang ada di sulawesi terkhusus Makassar, maraknya bentrokan antar fakultas (di UIN,UNM) penyerangan sekretariat (Unhas), penyerangan kampus Unibo dsb, adalah sederet peristiwa yang selayaknya tidak dilakukan oleh mahasiswa yang notabenenya mengedepankan intelektualitas.

Halaman: