ilustrasi

Dua Kader Beringin Masuk Bacagub IYL, Golkar “Rapuh”?

Senin, 29 Mei 2017 | 16:51 Wita - Editor: adyn - Reporter: Mirsan - Go Cakrawala

Makassar, GoSulsel.com – Perpecahan di internal Partai Golkar nampaknya sulit dihindari. Itu setelah empat kadernya hampir pasti maju berlawanan di Pilgub Sulsel 2018 mendatang.

Meski Golkar sudah mantap mengusung duet Nurdin Halid-Aziz Qahhar Mudzakkar, namun paket kader Golkar-Golkar lainnya juga menguat menjadi kontestan. Ada mantan Bendahara DPD I Golkar, Ichsan Yasin Limpo (IYL) yang memasukkan dua kader Golkar sebagai bakal calon pendampingnya, yakni Andi Yagkin Padjalangi dan Andi Mudzakkar (Cakka).

pt-vale-indonesia

Di samping itu, Tanribali Lamo yang sudah berbaju Golkar selama satu tahun terakhir, juga semakin lengket untuk maju berpasangan dengan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah (NA).

Pengamat Politik dari Unhas, Prof Armin Arsyad berpandangan, diikutkannya Cakka dan Yagkin di bakal calon wakil gubernur, menjadi pesan kuat, bahwa IYL masih cukup diterima di Golkar. Apalagi mantan Bupati Gowa dua periode itu sempat diisukan akan memimpin Golkar Sulsel.

“Pak SYL dan IYL itu tidak bisa dipisahkan. Sementara, banyak di antara kader Golkar yang sangat dekat dengan kedua tokoh itu,” ucap Armin, Senin (29/05).

Lebih jauh, Prof Armin menjelaskan, dalam konteks Pilgub, hubungan emosional dan pertemanan, masih menjadi indikator utama seseorang untuk menentukan pilihan. Meski diakuinya dalam aturan main partai, kader mesti memilih kandidat usungan partainya.

“Tapi siapa yang tahu kalau di bilik suara. Karena tidak mungkin orang digugat kalau pilihannya tidak sama dengan yang lainnya. Karena setiap orang itu punya hak pilih, bukan dipaksa memilih,” tuturnya.

Ia juga beranggapan, sebaiknya sejumlah kader partai seyogyanya tidak memaksakan kehendak untuk diusung oleh partainya, maju di kontestasi politik. Sebab, masyarakat bisa saja menolak pilihan partai, jika figur yang diusung dianggap tidak layak.

“Karena ada yang disebut teori ‘Oligarki Politik’. Hanya karena dia ketua partai, atau yang mengambil keputusan tertinggi di partai, dia memaksakan dirinya untuk ikut di kontes politik,” jelas Prof Armin.

Makanya, dia menegaskan, perpecahan dukungan internal partai untuk perhelatan politik biasanya disebabkan oleh respon masyarakat dan cenderung tidak menerima dari apa yang ‘dipaksakan’ oleh partai tersebut.


BACA JUGA