Yuk! Saksikan Cerita Rakyat Jeneponto di TSM Theme Park Makassar
Makassar, Gosulsel.com – Bekerjasama dengan Dewan Kesenian Makassar (DKM) dan Teater Makassar, cerita rakyat dari Jeneponto, I Maddi Daeng Rimakka (Legenda Turatea) dikisahkan pada 11-14 April 2018 Pukul 14.30 Wita di Trans City Theatre, Trans Studio Theme Park Makassar.
Merupakan bagian dari Campaign Awareness yang telah di jalankan sejak 2017 lalu, Akkarena ri Trans Studio adalah upaya memperkenalkan kembali budaya Sulawesi Selatan dan permainan tradisional kepada generasi muda yang kini mulai terkikis zaman dan teknologi.
Pertunjukan Teater I Maddi Daeng Rimakka juga adalah bentuk tanggung jawab management Trans Studio Theme Park Makassar kepada masyarakat untuk mengobati kerinduan akan kisah-kisah inspiratif dan heroik dari Sulawesi Selatan.
“Sudah menjadi tanggung jawab kami untuk tidak hanya memberikan suguhan hiburan semata kepada masyarakat tapi bagaimana cerita dan legenda yang ada di Sulawesi Selatan in bisa kita angkat kisahnya agar anak-anak kita, para generasi penerus bisa mengetahui dan memiliki kesadaran atau awareness serta dapat memahami nilai-nilai luhur yang bisa mereka teladani dari kisah I Maddi Daeng Rimakka,” tutur Luisito Hari Krisanto selaku General Manager.
Berikut sinopsi cerita I Maddi Daeng Rimakka:
Pagi itu I Maddi Daeng Rimakka bersama beberapa tetangganya bermain raga. Usai permainan raga, mereka minum kopi dan menikmati penganan alakadarnya yang dibuat oleh I Mulli Daeng Massayang, istri I Maddi. Tak lama setelah kepergian para pemain raga, dari jauh terdengar derap kaki kuda berlari kencang. Rupanya dia Kalawaki (Gembala Kuda), datang melapor kepada I Maddi, bahwa kuda dan kerbau milik Karaeng Bontotannga dicuri, justru oleh keluarga sendiri.
Laporan Kalawaki semakin jelas melalui Toddo Appaka ri Layu, Paman I Maddi yang datang kemudian. Sang Paman bahkan menyebut nama, antara lain I Rambu Daeng Rimoncong dan I Manja Daeng Manyarrang, orang dekat I Maddi. Malahan diisukan bahwa gagasan pencurian itu adalah I Maddi sendiri. Karena itu, Toddo Appaka mengusulkan agar I Maddi membayar saja kuda dan kerbau itu sebagai ganti rugi. Tapi usul itu ditolak oleh I Maddi. Dikatakannya:
“Dengar, Paman. Sekarang ini sudah dua corengan arang di keningku. Pertama, oleh Karaeng Bontotannga dengan menuduh akulah yang menyuruh curi kuda dan kerbaunya. Kedua, oleh Pamanda sebagai Toddo Appaka, dengan menyuruhku membayar sebagai ganti rugi terhadap sesuatu yang nyata-nyata di luar pengetahuanku. Tak mungkin aku membayarnya karena memang bukan aku yang mencurinya, atau menyuruh orang lain mencurinya. Mungkinkah…?”
Ibu I Maddi yang sehari-harinya dipanggil Bunda Karaeng serta istrinya I Mulli Daeng Massayang menasihatkan agar membatakan niat untuk bertarung melawan pamannya sendiri, karena sebentar lagi I Maddi akan diangkat menjadi raja. Selain itu, Bunda Karaeng serta I Mulli bermimpi buruk, yang merupakan tanda bahwa marabahaya akan menimpa mereka.
Namun, I Maddi sudah merasa nipakasiri’ (dipermalukan). Demi kejelasan persoalan, I Maddi memanggil I Rambu Daeng Rimoncong dan I Manja Daeng Manyarrang. Setelah didesak oleh I Maddi, kedua orang itu mengaku bahwa dialah yang mencuri kuda dan kerbau itu, bahkan sudah tidak ada karena telah disembelihnya. Dan, untuk itu keduanya siap memikul risiko apapun yang bakal datang. Tapi bagaimanapun, I Maddi tetap bertanggungjawab atas segalanya, lantaran I Rambu dan I Manja adalah orang terdekatnya.
Siri’ I Maddi semakin dalam saat Kr. Bontotannga datang bersama beberapa pengawalnya, dan puncak dari segalanya adalah pertarungan antara mereka sekeluarga yang mengakibatkan korban taks edikit bagi kedua belah pihak.
Dan, ternyata pertarungan antarkeluarga itu justru disebabkan oleh adu-domba pihak ketiga. Tujuan adu-domba itu adalah untu menguasai daerah Turatea dalam bentuk penjajahan, karena patahnya hubungan antarkeluarga itu berarti kekuatan Turatea pun pecah. I Maddi dan kr Bontotannga tewas dalam pertarungan itu. (*)