Puasa Dalam Kepemimpinan Politik
GOSULSEL.COM — Puasa dalam kepemimpinan politik dapat dilihat dalam dua perspektif, yakni; pertama, sebagai ajang pelatihan kesehatan mental dan pikiran secara spritual; kedua, sebagai media yang ampuh untuk internalisasi nilai pendidikan karakter ke dalam diri masing-masing yang notabene menjadi bagian dari proses kepemimpinan dan respons kemanusiaan.
Puasa pada dasarnya menciptakan ragam karakter yang utama sebagai prasyarat pemimpin ideal. Oleh karenanya, dalam konteks misi ibadah puasa, maka karakteristik pemimpin ideal termanifestasi dalam nilai-nilai ketakwaan sebagai buah ritual puasa yang kemudian dapat diaktualisasikan dalam kepemimpinan politik.
Sesungguhnya, implementasi nilai-nilai puasa dan hubungannya dengan aktualisasi kepemimpinan terletak pada bagaimana merancang suatu bangunan etos kepemimpinan yang mampu menguatkan persepsi tentang dimensi eksoterik ibadah puasa itu sendiri. Lebih dari itu, puasa dapat dipastikan memiliki keterkaitan erat dengan fakta kehidupan sosial yang empirik dalam memengaruhi sikap pemimpin serta memberikan landasan etik moral dalam menjalankan kepemimpinannya.
Selain itu, puasa juga melahirkan insan yang mampu bersikap lebih kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Jika seseorang terlatih untuk bersikap kritis dan introspektif terhadap persoalan sosial yang timbul di masyarakat, diharapkan akan muncul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan-tindakan perubahan demi kesinambungan pembangunan.
Paradigma Kepemimpinan
Dalam pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905), menjelaskan bahwa konsepsi politik itu bercorak sosiologis, sehingga manusia hakikatnya adalah makhluk politik dan menjadi kebutuhan sebagai perekat sosial yang bersifat universal.
Untuk itu, pemimpin dalam Islam dapat dilihat dari dua konteks. Pertama, kewajiban untuk menegakkan Islam secara baik dan kedua, dalam mengatur urusan negara, sesuai dengan prinsip kepemimpinan Islam. Salah satu aspek penting kepemimpinan dalam Islam adalah terkait dengan proses pengambilan keputusan, yang diperintahkan Allah melalui musyawarah yang dewasa ini disebut “demokrasi”. (Baca, Surat Ali Imran ayat 159).
Dalam hal musyawarah, tugas kepemimpinan mencakup segala aspek, aktivitas, dan tindakan, yang di antaranya dapat menghilangkan kezhaliman, menegakkan keadilan, melenyapkan mudarat dan bahaya, serta menutup rapat sebab-sebab konflik dan permusuhan. Oleh karenanya, kepemimpinan Islam tidak dapat dipisahkan dari pertanggungjawaban yang mutlak terhadap rakyatnya.
Dalam lingkungan masyarakat yang berdaulat telah menjadi tugas seorang pemimpin untuk menyampaikan hak-hak para masyarakat kelompok rentan. Misalnya terkait dengan pengaturan atau regulasi politik yang berada di tangan pemimpin untuk mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, maka seorang pemimpin politik mutlak menyampaikan dan menegakkan amanat yang telah dibebankan Allah kepadanya.