IGI Nilai Perpres Guru Pensiun Akan Jadi Masalah Baru
MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Ikatan Guru Indonesia (IGI) menanggapi rencana peraturan presiden (Perpres) yang baru-baru ini diumumkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Setidaknya ada beberapa pandangan yang disampaikam oleh Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim. Pertama, sebaiknya pemerintah berkonsentrasi dulu pada upaya pemenuhan guru yang kurang bukan hanya karena pensiun, tapi sudah kurang sejak dulu.
“Kedua, jumlah guru dalam dunia pendidikan kita memang terlalu banyak jika dihitung Guru PNS+Guru Non PNS di sekolah negeri, hal ini terjadi karena jumlah mata pelajaran kita yang terlalu banyak. Misalnya sebuah SMP di daerah terpencil yang hanya punya 3 rombel harus diisi oleh 10 guru, sementara SMA yang misalnya juga punya 3 rombel harus diisi 16 guru,” kata MRR, akronim nama Muhammad Ramli Rahim, Jumat (14/12/2018).
“Maka itu pemerintah harus memikirkan efektifitasnya baik dengan cara menyederhanakan jumlah mata pelajaran atau cara lain agar bisa efektif. Jika tetap bertahan dengan kondisi sekarang, sistem pensiun ini tetap akan ribet dan membutuhkan sistem yang mampu mendeteksi kekurangan guru pada pada mata pelajaran apa dan dimana,” imbuhnya.
Ketiga, moratorium penerimaan PNS selama ini memang menyasar semua hal sehingga memang seharusnya dibuat aturan khusus terkait pendidik dan tenaga kesehatan.
“Apalagi di daerah banyak guru yang beralih fungsi dari fungsional ke struktural karena kebutuhan daerah, misalnya kepala BKD yang mantan guru, kepala Bappeda yang mantan guru, dan seterunya,” ucap MRR.
Keempat, lanjut dia pemerintah harus tegas dengan peniadaan sistem kontrak atau honorer atau apapun namanya dalam dunia pendidikan dan memastikan semua guru di sekolah-sekolah negeri berstatus PNS dan guru di Sekolah Swasta berstatus GTY. Tetapi pemerintah tidak boleh hanya sekedar melarang pengangkatan oleh daerah dan kepsek tetapi memberikan solusi jelas terhadap kekurangan guru.
“Nah, solusi usulan perpres ini sesungguhnya tidak perlu jika memang PNS sudah cukup karena jika sistem informasi guru baik maka saat seorang guru memasuki masa MPP maka kemendikbud sudah harus mengusulkan pengangkatan PNS pengganti,” jelasnya.
Pandangan kelima, pemerintah harus memberikan garisan tegas soal mutasi dan penempatan guru. Selama ini pemerintah daerah memindahkan guru seenak mereka karena memang aturannya longgar sehingga pengaruh keterlibatan dalam politik sangat besar.
Pemerintah, lanjutnya tidak boleh mengeluh hanya karena kebijakan mutasi guru ada didaerah, karena sesungguhnya ada beberapa instrumen yang menjadi kekuatan pemerintah pusat untuk memaksa daerah mematuhi kebijakan pusat terkait penempatan dan mutasi guru.
“Misalnya ancaman pembekuan sertifikasi, ancaman pembekuan dana bos, ancaman pembekuan bantuan kemendikbud ke daerah jika daerah tdk menjalankan petunjuk penempatan guru oleh kemendikbud. Jadi jangan mengeluh tetapi harus dipikirkan solusinya dalam kondisi otonomi daerah saat ini,” ucapnya.
Keenam, perpres ini harus memastikan ketersediaan guru jauh lebih penting dari apapun. Ketersediaan guru jauh lebih penting daripada peningkatan mutu guru, peningkatan fasilitas sekolah dan pembangunan sekolah baru. Pemerintah harus menempatkan guru sebagai prasyarat pendidikan.
“Tak seharusnya anggaran peningkatan kompetensi guru atau pengadaan sekolah baru diperbesar jika gurunya saja masih kurang,” tuturnya.
Ketuju, IGI kata dia curiga perpres ini hanya akan menjadi bom waktu yang ledakannya sama saja dengan honorer sekarang karena honorer sekarang malah banyak yang berawal dari guru sukarela
“Lebih dari itu, sebaiknya urusan guru ini diatur menjadi satu pintu, misalnya ditarik ke pusat agar pengaturannya lebih mudah, soal aset tetap menjadi milik daerah tak masalah yang penting urusan guru satu pintu saja. Sekolah juga semuanya dibawah kemendikbud, tak ada lagi sekolah dibawah kementerian lain selain kemendikbud,” tandasnya.(*)