Pengamat Sebut Ada Drama Hoax dalam Politik
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Hoax kini telah menjelma menjadi dua sisi berlawanan. Ia bisa mencabik namun juga justru bisa menolong. Inilah yang nampaknya sedang dilakukan dalam pertarungan politik dua kubu pasangan calon (Paslon) penguasa negeri pertiwi. Hal ini demi meraih simpati para pemilih.
Jokowi-Ma’ruf Amin mencoba memanfaatkan hoax untuk mendapatkan simpati. Terbukti saat berkunjung ke Makassar bulan Desember yang lalu, Jokowi curhat di hadapan ribuan masyarakat karena difitnah dengan berita hoax.
Sementara Prabowo-Sandi dilabeli hoax dengan sederet tragedi. Dimulai dari kebohongan Ratna Sarumpaet hingga 3 pernyataan yang kemudian dikelakarkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan memberi Kebohongan Award.
Pernyataan tersebut menyebut selang cuci darah untuk pasien sudah dipakai 40 kali di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Lalu pernyataan Sandiaga Uno mengenai Tol Cipali dibangun tanpa utang. Hingga yang teranyar dari Andi Arief (AA) Wasekjen Partai Demokrat disebut melakukan kebohongan isu 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos.
Jika hoax dari Jokowi mendudukkan Jokowi sebagai korban, hoax dari kubu Probowo justru mendudukkan publik sebagai korban terutama untuk kasus AA. Hal ini menimbulkan efek berbeda.
Pengamat psikologi politik Universitas Negeri Makassar (UNM), Muhammad Rhesa, S.Psi., M.A., menyebut hoax terbaru yang ditampilkan AA sebagai drama.
“Apa yang dipertontonkan sekarang adalah dramaturgi politik. Pelaku (AA) sengaja mengumpan sensasi dari pihak lawan merespon dengan cara berlebihan,” sebut Rhesa kepada Gosulsel.com pada Sabtu (5/1/2019).
Menurut Rhesa, kedua pihak yang terlibat sengaja masuk pada drama ini untuk menarik perhatian publik sesuai dengan hitung-hitungan mereka masing-masing. Terlepas dari adanya pihak yang sampai saat ini tampaknya ditindaki serius melalui hukum.
“Masing-masing politisi yang terlibat dalam kasus ini sadar bahwa dirinya sadar kamera sehingga mereka dengan puas mengeksplorasi panggungnya,” jelasnya.
Ditambah lagi, Rhesa mengungkapkan bahwa drama yang digulirkan politisi justru berbahaya jika terus berlanjut, bahkan lebih berbahaya dari kebohongan yang diberitakan karena drama ini mengandung motif.
“Masing-masing peran hanya dipahami secara utuh bagi aktornya sendiri,” ungkap Rhesa.
Alasan Rhesa menyebut peristiwa ini sebagai drama disebabkan oleh tweet AA mengarah pada instruksi konfirmasi lalu lawan merespon berlebihan dengan memberi cap hoax. Ia pun berharap media jangan terjebak, buru-buru juga mengiyakan bahwa tipe ini adalah hoax.
“Yang saya amati, hoax adalah tema yang dibuat kubu lawan agar publik mudah memberi cap pada kasus ini, dan sayangnya kebanyakan media ikut mendudukkan kasus ini dari perspektif klaim yang sengaja dibuat oleh kubu lawan,” terang Rhesa.
Kalimat dari tweet AA sebenarnya merupakan kalimat mudah diselesaikan baginya. Karena siapa yang berargumen, dia yang memiliki beban untuk membuktikan argumennya. Seperti itulah seharusnya konteks penyelesaiannya dalam perspektif Rhesa.
Namun yang terjadi adalah prahara tersebut sengaja digulirkan dengan besar, sekalian mengajukan “stempel” kepada publik bahwa kasus ini adalah hoax.
“Bagi AA sendiri, dramanya adalah melempar isu, lalu untuk menguji keaslian isu, diserahkan pada publik yang terpapar isu ini. Mana mungkin bisa? Makanya saya sebut ini drama,” pungkas Rhesa.
Namun, akhirnya ada yang lepas kontrol secara hitung-hitungan hingga bisa diarahkan ke ranah hukum, sekalian dengan capnya, hoax. Apa yang kita saksikan sekarang lah yang menjadi nyata, padahal ada semacam drama dibaliknya.(*)