Suasana pameran Seni Rupa Sulawesi Pa'rasanganta, Bentara Budaya 10-20 Januari 2019.(foto: AJR)

Tafsir Kampung Halaman dalam Pameran Seni Rupa ” Sulawesi Pa’rasanganta “

Selasa, 15 Januari 2019 | 16:01 Wita - Editor: Irwan AR -

Anwar Jimpe Rachman, direktur Makassar Bienale ini dalam catatan kuratorialnya atas pameran yang mencoba mengatasi tafsir perupa Sulsel atas tema yang sama di tempat yang sama rentang jarak 15 tahun.

Anwar jimpe Rachman, Kurator Pameran Sulawesi Pa’rasanganta

“Ekshibisi bersama kali ini merupakan pameran kedua perupa dari wilayah sama di galeri serupa dengan jarak lima belas tahun (2003).,” ungkap Jimpe.

pt-vale-indonesia

Rentang jarak 15 tahun itu bisa menjadi beban bagi perupa Sulsel Unsur ini menjelma sebagai satu patokan bagaimana hendak menyajikan karya-karya apa saja yang menjadi wajah perkembangan seni rupa di Sulawesi Selatan. Rentang masa tersebut, sadar atau tidak, berubah layaknya momok pertanyaan dalam benak perantau yang hendak pulang, ‘apakah mereka sudah layak pulang?’.

“Pada sisi lain, tema ini juga sangat mungkin kita ibaratkan sebagai pedang bermata dua. Ia bukan hanya bisa ‘melukai’ tangan para perupa Sulawesi Selatan, tapi juga ‘mengiris’ tangan khalayak umum. Bila tak hati-hati memegangnya, keduanya bisa terluka. Luka yang bisa berawal dari perihal yang bernama tafsir.” tulis Jimpe di “jelaga Empat Puluh Tahun” pada website artefact.id.

Sementara tafsir yang ingin ditawarkan pada pameran yang menjadi agenda pertama Bentara Budaya di tahun 2019 ini adalah mencoba keluar dari cara pandang yang dilanggengkan kekuasaan orde baru dalam memandang kesenian dan kebudayaan Sulsel. Dalam rezim Soeharto lagu Sulawesi Pa’rasanganta ditampilkan sebatas hiburan semata.

Definisi seni dan kebudayaan bagi rezim pengusung kestabilan ini tak pernah jauh dari upaya memunculkan potongan-potongan yang disebut sebagai representasi kenyataan “kampung halaman” pada lapis pertama, persoalan yang didorong oleh wacana sentralistik. Bahkan Acciaioli, dengan cenderung ketus, menyatakan bahwa keragaman daerah dihargai, dihormati, dan disanjung namun hanya sebagai tontonan, bukan keyakinan; [sebagai] pertunjukan, bukan pelaksanaan [ritual].

Dampak dari pelanggengan cara berpikir yang disusun rezim orba tadi diakui kurator menjadi momok di kalangan perupa. Menurut Jimpe, berdasarkan beberapa kali wawancara mendalam dengan sejumlah seniman, mereka pun mengakui bahwa respons awal mereka terhadap tema ini sebagaimana yang sudah diduga tadi. Dimana tafsir yang terjadi adalah pemaknaan ‘citra’ semata.

” Jejak-jejak masa empat puluhan tahun itu masih bisa kita pindai, kendati dalam 29 karya dari 22 perupa di pameran ini tak mendominasi lagi. Dalam karya-karya dwimatra dan trimatra yang meliputi jenis karikatur, drawing, lukis, hingga instalasi menampakkan keadaan-keadaan yang hendak mereka tampik atau dalam perubahan-perubahan yang kini sedang berlangsung di dunia seni rupa Sulawesi Selatan. Di berbagai medium itulah deretan karya ini menunjukkan penegasan-penegasan dari sikap mereka bahwa seni rupa jalan hidup yang harus ditelusuri dengan keras kepala,” pungkas Jimpe.(*)

Halaman: