#OPINI
Mungkinkah Penerapan Karantina Wilayah?
Oleh: M Ridha Rasyid (Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)
Beberapa hari ini ramai diperbincangkan dan diusulkan tentang kemungkinan pemberlakuan karantina wilayah. Mengingat pemerintah bersikukuh tidak akan melakukan lockdown, yang memang tidak punya dasar aturan untuk diaplikasikan. Bahwa ada beberapa pertimbangan matang yang harus diperhatikan jikalau penguncian akses masuk dan keluar itu diterapkan.
Pertama, pemerintah harus menjamin ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat yang di karantina total, kedua, distribusi barang dan jasa yang terhenti, seyogyanya didahului penyediaan stok barang yang cukup dalam waktu tertentu sesuai lamanya pemberlakukan lockdown, ketiga, akses keluar masuk yang dikunci, maka produksi barang dalam negeri juga akan berjalan lamban, pada saat yang sama, impor barang juga akan terhenti, keempat, pertumbuhan ekonomi melambat seiring dengan perolehan pendapatan akan menurut yang berimplikasi pada pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai tidak akan mencapai target year of year, kelima, pemerintahan tidak bisa memberi pelayanan maksimal, meskipun tidak mengalami kelumpuhan, dan keenam, realokasi anggaran besar besaran juga menjadi hal yang melambankan pembangunan diberbagai sektor. Terlalu besar resiko yang bakal terjadi kalau lockdown ini dilakukan.
Berbeda halnya beberapa negara yang melakukan hal tersebut, kecuali china, dari jumlah penduduk dan kapitalisasi ekonomi kita sangat rentan terhadap suatu krisis. Apatahlagi, pandemi corona virus disease ini bukan persoalan biasa. Dunia telah mengalami beberapa kali krisis ekonomi dan keuangan, tetapi dunia usaha dan ekonomi rakyat tetap berjalan, namun kali ini sangat berbeda, sebab menyangkut keselamatan jiwa manusia secara global. Dalam sektor ekonomi tidak pernah ada kejadian luas biar yang meliputi hampir semua negara di bumi ini. Fantastis sekaligus membuat semua orang jadi miris.
Dari berbagai sudut pandang keahlian yang ada, tidak satupun yang mampu memberi solusi terbaik kecuali hanya satu kata lockdown.
Karantina wilayah
Pasien positif virus corona baru atau COVID-19 terus meningkat sejak kasus pertama diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020. Pemerintah pun memutuskan pandemi COVID-19 ini sebagai bencana nasional non alam yang berimplikasi pada banyak sektor. Menerapkan kebijakan social distancing atau pembatasan sosial juga physical distancing menjadi syarat penting memutus penyebaran covid19 ini.
Presiden Joko Widodo mengimbau kepada seluruh rakyat Indonesia agar melakukan seluruh kegiatan dari rumah untuk mengantisipasi penyebarannya. Jadi selain secara medik, tindakan yang sudah ditempuh pemerintah, kalangan dunia usaha , perguruan tinggi, kelompok masyarakat, maupun warga pada umumnya untuk bersama sama “memerangi virus ini.
Regulasi pemberlakuan karantina kesehatan untuk seluruh warga negara, sejatinya telah atur sedemikian rupa. Indonesia memang sudah memiliki payung hukum soal kebijakan karantina ini. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
UU itu diteken Presiden Jokowi pada 7 Agustus 2018 dan diundangkan sehari kemudian. Dalam UU tersebut, terdapat tiga jenis karantina: rumah; rumah sakit; dan wilayah.
Penjelasan itu tertuang dalam Bab VII tentang Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah. Pasal 49 menjelaskan bahwa karantina dilakukan sebagai bentuk tindakan mitigasi pada penilaian kedaruratan.
Karantina yang dilakukan pun harus mempertimbangkan epidemiologi, efektifitas, dukungan sumber daya, operasional teknis, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.
Sementara aturan soal Karantina Rumah termuat pada Pasal 50. Ditempatkan sebagai karantina dilakukan jika ditemukan terdapat kasus yang terjadi di satu rumah tersebut.
Sesuai Pasal 51, Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada penghuni rumah sebelum melakukan tindakan. Penghuni yang dikarantina selain kasus, dikeluarkan dari rumah selama waktu yang telah ditentukan oleh Pejabat Karantina Kesehatan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 52, selama dikarantina kebutuhan hidup ditanggung Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait.
Berikut bunyi Pasal 52 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan:
“(1) Selama penyelenggaraan Rumah Karantina, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan yang sesuai dengan Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”
“(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Rumah diizinkan menyetujui ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang terkait.”
Sementara karantina wilayah diatur di dalam Pasal 53 sampai 55. Kemudian untuk karantina rumah sakit tertuang di dalam Pasal 56 sampai 58.
Pasal 55
(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Pasal 56
(1) Kegiatan Karantina Rumah Sakit merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Karantina Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan kepada seluruh orang yang berkunjung, orang yang bertugas, pasien dan barang, serta apapun di suatu rumah sakit bila dibuktikan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium telah terjadi penularan penyakit yang ada di ruang isolasi.
Dari penjelasan UU ini sejatinya, pemerintah daerah dengan persetujuan pemerintah pusat, dalam hal pemerintah daerah telah memberlakukan tanpa atau belum mendapatkan rekomendasi dari pemerintah pusat, maka secara arif pemerintah pusat dapat memberikan persetujuan setelah melihat dan mempelajari fakta dan data yang ada didaerah tersebut.
Pemerintah juga telah melakukan beberapa langkah seperti menunda kegiatan beribadah, pembatasan sarana transportasi, meminta pimpinan perusahaan mempekerjakan karyawannya dari rumah, dan sejumlah hal lainnya.
Secara konten seharusnya sudah diterapkan UU ini. Kalau diberlakukan, orang-orang di rumah atau wilayah itu tidak boleh keluar, tapi kebutuhan dasarnya dijamin oleh pemerintah.
Belum terlambat
Dalam menangani suatu musibah, apakah itu bencana alam maupun pandemi, tidak ada kata terlambat untuk mengambil suatu kebijakan ataupun program yang akan dilaksanakan. Bahwa, persoalan cepat atau lamban, tergantung dari dinamika yang ada pada setiap wilayah. Mengingat bahwa negara kita adalah terdiri dari ribuan pulau, tentu setiap wilayah tidak sama kondisi geografisnya dan jumlah penduduknya, juga karakteristiknya.
Kita ambil contoh Maluku yang relatif kurang berdampak, berbeda dengan Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan yang merupakan kota transit, pergerakan orangnya sangat aktif, sehingga kontak personal-nya juga lebih sering. Sama halnya Sumatera Utara akan berbeda yang terjadi di Jawa Timur. Yang hampir sama terlihat di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Dua propinsi bertetangga ini sangat rentan, selain penduduknya yang banyak juga menjadi sentra ekonomi yang sangat penting di negeri ini.
Oleh karena itu, Pemerintah pusat tidak secara aktif menyerukan dilakukannya karantina wilayah, tetapi mempertimbangkan usulan daerah untuk memberlakukan karantina wilayah atau lockdown parsial. Sehingga, dalam hal karantina wilayah, daerah yang lebih aktif menilai kondisi daerahnya, kemudian diajukan ke pemerintah pusat untuk memberlakukan karantina wilayah di daerah tersebut.(*)