Sumbangan Dana Kampanye Dahulu, Politik Transaksional Kemudian

Selasa, 08 Januari 2019 | 12:24 Wita - Editor: Irwan Idris - Reporter: Mutmainnah - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL — Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dari setiap peserta Pemilu 2019 pada Rabu (02/01/2019). Laporan ini merupakan perincian atas sumbangan dana kampanye yang masuk dari semua peserta pemilu  yakni partai politik, pasangan capres-cawapres, dan anggota dewan perwakilan daerah.

Untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden, Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin melaporkan penerimaan dana kampanye sebesar Rp 55,9 Miliar. Sumber pendanaan tersebut berasal dari perorangan, partai politik, kelompok, badan usaha non pemerintah, dan paslon.

Sementara, pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno melaporkan dana kampanye sebesar Rp 56,02 miliar. Dana itu terdiri dari LADK sebesar Rp 2 miliar dan LPSDK sebesar 54,02 miliar. Sumber pendanaan tersebut berasal dari perorangan, partai politik, kelompok, badan usaha non pemerintah, dan pendapatan bunga bank.

Adanya penyumbang dana dari berbagai pihak mengakibatkan banyak orang berasumsi bahwa kebijakan pasangan yang terpilih akan banyak berpihak pada sang penanam modal kampanye.

Pengamat politik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Bosowa (Unibos), Arif Wicaksono mengamini hal tersebut.

“Pasti berpengaruh. Paling tidak untuk operasional parpol. Tapi bagi para penyumbang, mereka akan menuntut lebih, terutama di aspek kebijakan jika caleg parpol tersebut bisa dapat kursi,” ucap Arif kepada Gosulsel.com pada Senin (07/01/2019).

Jika banyak yang mengklaim bahwa sumbangan dari badan usaha non pemerintah adalah dalang terjadinya proses transaksi politik, Arif Wicaksono justru berpendapat bahwa seluruh penyumbang dana kampanye akan ikut andil mengambil keuntungan.

“Dari lembaga non pemerintah atau perusahaan akan sama saja, mereka berharap imbal balik. Itu hal biasa dalam ekonomi-politik,” sebutnya.

Praktek politik seperti ini dianggap tidak etis dan sehat, karena seyogyanya kebijakan politik mengarahkan kepentingan umum (rakyat) sebagai yang pertama dan utama.

“Tentunya tidak etis ya. Tapi hal itu kan dibolehkan peraturan, jadi demikianlah prakteknya. Dimana-mana model pembiayaan partai politik sudah seperti itu,” terang Arif.

Merombak sistem politik adalah solusi satu-satunya bagi Arif Wicaksono agar tidak dimanfaatkan demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

“Makanya saya pernah katakan, bahwa kalau ada yang perlu dirombak dari perpolitikan kita hari ini bukanlah demokrasinya, tapi sistem politiknya,” serunya.

Diketahui, pada prakteknya sistem politik memanglah berjenis transaksional. Karenanya ada ide untuk pembiayaan parpol dari negara. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi sifat transaksional tadi. Tapi melihat gelagatnya, selama kita gagal paham tentang trias politika yang independen, maka kecenderungan ini akan berlangsung terus sampai kapanpun.

“Di Amerika masih mending, karena lembaga-lembaga negara sebagai representasi kekuasaan tidak saling mengintervensi, di Indonesia justru sebaliknya, eksekutif mengintervensi legislatif dan yudikatif, yudikatif juga mengintervensi legislatif dan eksekutif dan seterusnya,” tambah Arif.

Akibat dari prahara ini, muncullah elemen tambahan, yaitu “investor politik” dalam sistem politik. Dan itu menghancurkan politik yang seharusnya ideal.(*)


BACA JUGA